Indonesia di Frankfurt Book Fair Lagi
KOMUNITAS PERISTIWA

Indonesia di Frankfurt Book Fair Lagi

Indonesia hadir kembali dalam gelaran pameran buku terbesar dan tertua di dunia, Frankfurt Book Fair 2017. Indonesia membawa sekitar 300 judul buku pilihan yang ditulis sekitar 200 penulis. Beberapa penulis turut diundang dalam acara yang dihadiri Presiden Prancis Emanuel Marcon dan Kanselir Jerman Angela Merkel tersebut.

Dalam gelaran yang bertempat di Frankfurt Trade Fair tersebut, Indonesia juga menyelenggarakan pembacaan buku oleh para penulis seperti “Wajah Terakhir” karya Mona Sylviana, karya-karya Zen Hae, dan buku puisi karya Aan Mansyur.

Selain itu juga ada peluncuran buku “Home Sweet Home” karya Anton Gautama dan berbagai diskusi. Salah satu diskusi mengangkat tema toleransi di Indonesia yang menghadirkan penulis Zaky Yamani, Avianti Armand dan Ben Sohib.

Turut hadir pula Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid sebagai pembicara dalam diskusi bertema “Pemerataan Distribusi Buku di Indonesia”. Hilmar mengatakan, dengan 17.000 pulau dan luas hampir 2 juta km2, pemerataan dan distribusi buku di Indonesia memiliki tantangan tersendiri, khususnya bagi pemerintah.

Selain itu Indonesia juga memikat pengunjung dengan kulinernya lewat buku Jakarta Bite dan demo masak oleh Petty Elliot. Etty Prihatini, warga Indonesia yang membantu Petty, mengatakan bahwa mereka kewalahan menghadapi pengunjung Frankfurt Book Fair yang ingin mencicipi masakan Indonesia.

Ketua Komite Buku Nasional, Laura Bangun Prinslo, mengatakan semenjak kehadiran Indonesia sebagai Tamu Kehormatan pada Frankfurt Book Fair tahun 2015, terjadi perkembangan dalam dunia literasi di Tanah Air, salah satunya dalam strategi pemasaran buku-buku berkualitas di luar negeri melalui program subsidi riset bagi penulis.

Para penulis tersebut melakukan residensi riset hingga ke Inggris, Belanda dan Portugal. Para penulis yang melakukan residensi inilah yang turut hadir dalam Frankfurt Book Fair 2017.

Senada dengan Laura, Duta Besar RI untuk Jerman Fauzi Bowo juga mengatakan bahwa sejak menjadi tamu kehormatan, industri literasi Indonesia semakin dikenal oleh penerbit Eropa, khususnya Jerman.

Hadirnya Indonesia dalam acara ini memang menjadi ajang promosi dan menjalin kerja sama dengan industri literasi di Eropa dan dunia. “Beberapa penerbit dan penggiat sastra tertarik pada karya-karya para pengarang. Ada yang akan segera diundang dan diterbitkan di Australia dan Kuba,” kata Alda Trisda, agen sastra dari Belgia.

Salah satu tema buku yang paling banyak diminati adalah buku anak-anak. Karena itu Indonesia sengaja membawa cukup banyak judul buku anak dari berbagai penerbit, seperti Kula Cula dari Kesaint Blanc dan I Love My Family dari PT Kanisius.

“Kita membawa banyak buku anak karena memang peminatnya banyak. Jumlah judul buku anak yang lolos kurasi (tahun) 2017 juga banyak, ada sekitar 200 judul,” kata Laura.

Meski demikian, Hilmar Farid mengatakan bahwa masyarakat Indonesia masih berjuang menegakkan literasi. Indonesia, tidak bisa tidak, harus mengikuti perkembangan industri buku di dunia.

“Seharusnya kita mengikuti kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan literasi. Akan tetapi karena industri begitu cepat bergerak, tak ada cara lain kita juga harus mengikuti gejolak industri perbukuan internasional,” ujar Hilmar. (sak)