Kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah ke Rp15.872 saat perdagangan ditutup pada Minggu, 22 Oktober 2023. Sebelumnya, posisi tersebut juga terjadi pada perdagangan Jumat, 20 Oktober 2023, di mana rupiah melemah 0,36%.
Menurut kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, nilai tukar rupiah berada di angka Rp15.856 per dolar AS, melemah dari Rp15.838 per dolar AS pada hari perdagangan sebelumnya.
Aksi Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang memutuskan suku bunga acuan atau BI 7 days reverse repo rate (BI7DRR) naik menjadi 6%, untuk sementara belum berefek positif. Merujuk Gubernur BI Perry Warjiyo, dalam konferensi pers, Kamis (19/10/2023), suku bunga deposit facility juga naik menjadi 5,25% dan suku bunga lending facility menjadi 6,75%.
“Kenaikan ini untuk memperkuat kebijakan stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak mengingat tingginya ketidakpastian global serta sebagai langkah preemptive dan forward looking untuk mitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor atau imported inflation sehingga inflasi tetap terkendali dalam sasaran 3 plus minus 1% pada 2023 dan 2,5 plus minus 1% pada 2024,” kata Perry.
Mata Uang Asia Melemah
Meskipun mengalami tekanan, menurut pantauan BI, kondisi rupiah relatif lebih baik situasinya dibandingkan dengan pelemahan beberapa mata uang negara lain. Sejumlah mata uang Asia mengalami depresiasi terhadap dolar AS secara year to date (ytd).
Setidaknya, sebanyak delapan mata uang Asia terpantau melemah dengan catatan dampak terbesar terjadi pada mata uang yen Jepang sebesar 12,75% ytd. Beberapa kantor berita finansial melaporkan kondisi tersebut terjadi pada umumnya terjadi akibat suku bunga The Fed yang mengisyaratkan masih ada potensi menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,50-5,75%, khususnya pada Desember.
Menurut laporan cnbcindonesia.com, terpuruknya yen Jepang semakin parah akibat Bank of Japan (BoJ) memutuskan menahan suku bunganya di level ultra-rendah. BoJ dikabarkan berjanji untuk terus mendukung perekonomian sampai inflasi secara berkelanjutan mencapai target 2%. Hal ini menunjukkan bank tersebut tidak terburu-buru untuk menghentikan program stimulus keuangan.
Kondisi terparah kedua terjadi pada ringgit Malaysia yang terkoreksi mencapai 7,66% ytd basis ringgit. Ringgit telah jatuh ke level terendah sejak krisis keuangan Asia 1997-1998, karena mata uang tersebut terbebani kenaikan dolar AS dan perbedaan suku bunga yang semakin lebar dengan negara tersebut.
Selanjutnya, won Korea Selatan berada di peringkat ketiga dengan pelemahan 5,93% ytd basis won. Berturut-turut berikutnya adalah baht Thailand tersungkur pada 4,64%, dan peso Filipina menurun ke 1,73% ytd.
Kondisi AS dan Tiongkok
Selain hal tersebut, Perry Warjiyo juga menyatakan salah satu alasan kenaikan suku bunga BI adalah tensi geopolitik yang meningkat sehingga membuat harga minyak masih cukup tinggi. Alhasil, inflasi cukup sulit untuk diturunkan sehingga suku bunga perlu ditingkatkan.
Selain itu tak dipungkiri juga, perkembangan perekonomian dalam negeri dua raksasa dunia, Amerika Serikat dan Tiongkok, turut berpengaruh. Kantor berita cnbcIndonesia.com mengutip analisis perekonomian AS yang makin menguat. Itu terlihat dari ISM (The Institute for Supply Management) Services AS yang melonjak cukup signifikan ke 54,5 pada Agustus. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan 52,7 pada Juli serta di atas ekspektasi pasar yakni 52,5.
Data lainnya juga menunjukkan angka pengangguran AS mencapai 216.000 pada pekan yang berakhir 2 September. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan ekspektasi pasar yakni 234.000 dan pekan sebelumnya yakni 229.000. Beragam data tersebut, menurut sejumlah analis, mencerminkan penguatan ekonomi AS sehingga tingkat inflasi bisa sulit ditekan ke depan.
Faktor lainnya yang turut berpengaruh adalah kondisi ekonomi Tiongkok. Caixin PMI Manufacturing PMI menunjukkan, aktivitas manufaktur Tiongkok menjadi lebih ekspansif sejak Agustus 2023. PMI Agustus menjadi yang tertinggi sejak Februari 2023 atau dalam lima bulan terakhir.
Walaupun cenderung positif, data ekonomi ekspor dan impor Tiongkok masih mengalami kontraksi. Angka ekspor kembali terkoreksi mencapai 8,8% year on year (yoy) menjadi USD284,9 miliar pada Agustus 2023 sementara impor mereka menjadi sebesar 7,3% (yoy) menjadi USD216, 51 miliar. Demikian pantauan cnbcibndonesia.com pada Sabtu (09/09). (indonesia.go.id)