Beras Mama Papua. Begitulah julukan bahan pangan sumber karbohidrat yang dipajang di salah satu stan pameran produk dalam negeri di Bali, pada Rabu (6/3/2024). Di tengah gejolak harga beras di pasar yang tinggi, “beras” asal Papua itu tentu saja menarik perhatian pengunjung.
Adalah Direktur Jenderal Industri Agro Putu Juli Ardika, yang hadir di sana dan merasa perlu mengupas jauh produk hasil kreasi sebuah perusahaan asal Papua itu. Yang dimaksud “beras Papua” itu, tidak lain adalah bahan makanan atau nasi sagu siap saji. Bentuk fisik panganan itu tidak ubahnya seperti butiran beras yang cocok menjadi pengganti nasi dari padi.
Untuk harga, saat ini terbilang tinggi. Pembelian tepung sagu secara online dibanderol harga antara Rp30 ribu hingga Rp45 ribu per kilogram. Meskipun mahal, bahan pangan dari sagu memiliki keunggulan seperti indeks glikemik rendah, bebas gula, bebas gluten, serta rendah natrium. Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) beras sagu tersebut mencapai 80%.
Dalam acara yang diisi berbagai aksi, termasuk business matching Pembelian Produk Dalam Negeri 2024 yang dipandu Kementerian Perindustrian (Kemenperin), juga dipamerkan sejumlah kreasi lain bahan pangan sumber karbohidrat. Sebuah perusahaan asal Bangka, Provinsi Bangka Belitung, misalnya, menampilkan produk berupa mi instan bebas gluten pertama yang terbuat dari sagu. Adapun nilai TKDN produk mi instan sagu ini mencapai 40%.
Merujuk situs www.indonesiabaik.id kandungan nutrisi terbanyak di dalam sagu adalah karbohidrat murni. Karbohidrat ini masuk dalam kategori makronutrien yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah banyak untuk bahan energi dan fungsi otak. Sagu mengandung nutrisi seperti 355 kalori, 85,6% karbohidrat, 5% serat, 0,5 gram protein/100 gram sagu hingga rendah kadar gula dan lemak.
Sagu juga bisa sebagai sumber energi, mencegah diabetes, memperlancar sistem pencernaan, meningkatkan kesehatan tulang dan sendi, menjaga suhu tubuh, hingga dimanfaatkan untuk kesehatan kecantikan.
Diversifikasi konsumsi pangan sumber karbohidrat, menjadi perhatian pemerintah, termasuk Kemenperin. Langkah itu merupakan salah satu upaya untuk menjaga keamanan pangan dalam negeri. Produk pangan lokal dinilai merupakan salah satu pilihan yang tepat karena memiliki ketahanan terhadap perubahan iklim dan cuaca. Salah satu komoditas pangan lokal yang potensial untuk dikembangkan adalah sagu.
“Pohon sagu dapat tetap tumbuh meskipun saat banjir ataupun pada saat masa kekeringan karena kemarau panjang, sehingga pohon sagu tidak terdampak fenomena alam seperti La Nina dan El Nino,” ungkap Dirjen Putu Juli Ardika.
Sagu berpotensi dikembangkan sebagai alternatif bahan pangan sumber karbohidrat utama nasional karena Indonesia memiliki lahan sagu yang diperkirakan mencapai 5,5 juta hektare dari total 6,5 juta hektare luas lahan sagu di dunia. Dari total luas tersebut, 5 juta hektare berlokasi di daerah Papua.
Sebagai makanan pokok, sagu banyak tumbuh di hutan atau lingkungan sekitar tempat mereka hidup. Di tanah air, khususnya Papua dan Maluku, pohon sagu dapat tumbuh hingga mencapai 30 meter. Dari satu pohon saja, dapat menghasilkan 150–300 kilogram bahan baku tepung sagu.
“Luasnya lahan sagu tersebut dapat menjadi cadangan pangan sumber karbohidrat yang besar untuk dalam negeri maupun dunia, meskipun demikian pengolahan sagu dalam negeri belum secara masif dilakukan,” lanjut Putu.
Kemenperin sejauh ini mengeklaim, terus mendorong pengembangan hilirisasi sagu di dalam negeri melalui dukungan peningkatan produksi pati sagu dan diversifikasi produk olahan pati sagu. Pada 2023, Kemenperin bekerja sama dengan beberapa industri besar produsen pati sagu untuk meningkatkan utilisasi produksinya.
“Utilisasi produksi industri pati sagu nasional saat ini masih sangat rendah, yaitu di bawah 30%. Hal ini sebagai dampak dari keterbatasan industri untuk memperoleh bahan baku empulur sagu,” terangnya.
Empulur sagu memiliki sifat yang mudah rusak karena cepat teroksidasi, sehingga industri tidak dapat memperoleh bahan baku empulur sagu dari lokasi yang jauh. Pemerintah bekerja sama dengan industri pati sagu untuk mengembangkan model bisnis industri pati sagu dengan menggunakan sagu basah produksi UMKM sebagai bahan baku industri pati sagu.
Pemanfaatan sagu basah UMKM ini dapat memperlambat proses oksidasi sehingga jangkauan bahan baku industri pati sagu semakin luas serta dapat memberikan nilai tambah pada petani sagu. Selain pengembangan model bisnis sagu, Kemenperin juga mendukung diversifikasi produk olahan pati sagu.
Pati sagu saat ini sebagian besar banyak dikenal sebagai bahan untuk membuat papeda, namun saat ini sudah mulai tumbuh industri pengolahan sagu menjadi produk yang modern seperti mi instan dan beras analog. “Produk pangan olahan ini berpotensi menjadi pangan utama pengganti beras terutama pada saat terjadinya kelangkaan beras,” kata Dirjen Industri Agro. (indonesia.go.id)