Al Khaleej Garap Biofuel di Indonesia
EKONOMI BISNIS PERISTIWA

Al Khaleej Garap Biofuel di Indonesia

Komitmen Indonesia terhadap perubahan iklim sangat jelas. Komitmen itu kembali dilontarkan Presiden Jokowi di UN Climate Change Conference di Glasgow, Skotlandia, awal November 2021.

Di sektor energi, misalnya, sebagaimana disebutkan Kepala Negara, Indonesia terus melangkah maju antara lain dengan pengembangan ekosistem mobil listrik, pembangunan pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Asia Tenggara, serta pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), termasuk biofuel.

Dalam konteks pengembangan biofuel atau bahan bakar nabati, negara ini memang telah lama memulainya. Pada 2006, Indonesia telah menerbitkan kebijakan energi nasional yang menetapkan bahwa biofuel harus meliputi sekurangnya 5 persen dari bauran energi nasional pada 2025.

Pada 2008, kebijakan biofuel Indonesia mengalami perkembangan besar lainnya pada saat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan kewajiban penggunaan biofuel di sektor transportasi, industri, komersial, dan pembangkit listrik, dengan target progresif untuk pencampuran biofuel selama periode 2008–2025.

Sejalan dengan tujuan untuk mendorong biofuel menjadi bahan bakar transportasi, biasanya biofuel ini dicampur dengan bahan bakar fosil dalam berbagai persentase kandungan bahan (konsentrasi).

Campuran 5 persen biofuel dan 95 persen bahan bakar fosil biasanya disebut B5, sementara campuran 20 persen biofuel disebut B20, dan seterusnya.

Pada 2020, Pemerintah Indonesia menargetkan pencampuran 30 persen biofuel ke dalam bahan bakar solar, atau yang biasa disebut sebagai program B30.

Meskipun konsumsi biodiesel diprediksi turun sekitar 13 persen dari alokasi produksi pada 2020, akibat adanya perlambatan ekonomi sebagai dampak pandemi Covid-19, Pemerintah Indonesia masih terus melanjutkan program B30. Pemerintah menargetkan peluncuran program B40 pada 2022.

Terus Meningkat

Bagaimana pemanfaatan BBN (biofuel) bila dilihat volumenya? Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, penggunaan biofuel diharapkan bisa mencapai 17,4 juta kilolitre (KL) (KL) pada 2024.

Pada 2019, realisasi pemanfaatan biofuel seiring dengan diterapkan mandatori biodiesel 20% (B20) adalah sebanyak 6,3 juta KL. Pada 2020, target pemanfaatannya naik menjadi 10 juta KL, 10,2 juta KL pada 2021, 14,2 juta KL di 2022, 14,6 juta KL pada 2023, dan 17,4 juta KL di 2024.

Selain biodiesel sebagai bahan bakar nabati (biofuel), pemerintah juga mengembangkan bioethanol untuk kepentingan biofuel tersebut. Tentu pembaca ada yang bertanya-tanya, apa pembeda keduanya?

Bila didifinisikan secara sederhana biodiesel adalah minyak dari tumbuhan yang digunakan sebagai alternatif minyak solar. Biasanya, bahan baku yang digunakan adalah minyak sawit (CPO) atau daun jarak.

Sementara itu, bioethanol sebenarnya sama saja dengan biodiesel. Perbedaannya hanya dari prosesnya. Bahan bakar ini adalah turunan dari alkohol atau etanol yang dibentuk dari fermentasi biomassa tumbuhan, seperti ketela pohon, umbi-umbian, jagung, atau tebu.

Karena berasal dari tumbuhan, biofuel dianggap sebagai energi baru dan terbarukan. Peran BBN itu adalah mengurangi peran dari bahan bakar fosil dan telah mendapat perhatian dalam transisi ke ekonomi rendah karbon.

Investasi Al Khaleej

Nah, di tengah-tengah keikutsertaan di ajang World Expo 2020 Dubai, Indonesia mendapat berkah berupa komitmen dari produsen gula terbesar kelima dunia asal, Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), yakni Al Khaleej Sugar Co, untuk investasi.

Nilainya investasi siap dibenamkan produsen gula itu tak main-main, USD2 miliar, atau setara dengan Rp28,68 triliun untuk pengembangan etanol di Indonesia.

Rencana perusahaan asal Uni Emirat Arab diungkapkan Plt Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika. Menurutnya, Al Khaleej Sugar Co sangat tertarik untuk memasok bahan bakar di dalam negeri.

“Mereka [Al Khaleej Sugar] siap memasok etanol sebanyak 750.000 ton per tahun. Nilai investasinya sekitar USD2 miliar,” ujarnya Rabu (03/11).

Dia menjelaskan etanol dapat digunakan sebagai campuran bahan bakar dan berfungsi untuk meningkatkan oktan bahan bakar minyak atau BBM.

Saat ini, produsen gula terbesar di Uni Emirat Arab (UEA) itu tengah menanti kepastian kebutuhan pasokan etanol di Indonesia dan peluang insentif fiskal berupa pembebasan cukai. Alasannya, harga etanol sebagai campuran bahan bakar memerlukan pembebasan cukai agar dapat kompetitif.

Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM nomor 12/2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor 32/2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain, penggunaan bioetanol E5 diwajibkan pada 2020. Adapun formulasinya adalah 5 persen etanol dan 95 persen bensin, serta akan meningkat ke E20 pada 2025.

Harus diakui Indonesia masih kekurangan pasokan etanol, sehingga realisasi program tersebut juga tersendat-sendat. Indonesia pun masih mengimpor etanol dalam jumlah yang cukup besar.

Kebijakan impor dipilih mengingat ongkos produksi yang masih tinggi dan berakibat pada kurang kompetitifnya etanol sebagai bahan bakar alternatif untuk kendaraan.

Mengingat nilai investasinya yang besar, Kementerian Perindustrian sigap menginventarisir sejumlah persoalan demi menyiapkan karpet merah bagi investasi etanol dari UEA.

“Kami sudah sampaikan ke Pertamina dan mereka menyambut baik. Tinggal bagaimana agar cukai dari etanol ini bisa dikecualikan agar bisa kompetitif,” jelas Putu Juli Ardika.

Khusus bioetanol, pemerintah telah menjalankan program E2 (bioetanol 2 persen) dalam pengembangan biofuel. Namun, implementasi pengembangannya masih tersendat-sendat. Pasalnya, harga bioetanol yang dinilai masih tinggi menjadi kendala dalam penerapan E2 tersebut.

Pemerintah sendiri berupaya keras mencari sejumlah cara atas pemberian insentif pada E2, sehingga harga di masyarakat bisa semakin murah. Dengan demikian, pemanfaatan etanol dalam energi baru dan terbarukan semakin massif sehingga transformasi menuju cita-cita energi hijau bisa diakselerasi, bahkan bisa menjadi motor perubahan ekonomi Indonesia. (indonesia.go.id)