Mengantar Kopi Papua Go Global
KOMUNITAS PERISTIWA

Mengantar Kopi Papua Go Global

Bila berbicara kopi, kita sudah sangat mahfum dengan keterkenalan kopi asal Toraja atau Gayo, Aceh. Beberapa tahun silam, penulis pernah mengunjungi Gottingen, salah satu kota kecil di pinggir kota Hannover, atau sekitar 125 kilometer dari Ibu Kota Niedersachsen, Jerman.

Di pusat kota kecil Gottingen itu, penulis cukup merasa bangga karena bisa menemukan dan menikmati kopi Toraja di tengah-tengah dinginnya kota tersebut. Untuk secangkir kopi Toraja itu, penulis harus mengeluarkan sekitar 20 euro.

Seiring semakin mendunianya kopi asal Indonesia, kopi papua pun kini mulai dicari penikmat kopi dunia. Varian kopi papua pun cukup banyak yang tersedia, baik jenis robusta maupun arabica. Salah satu varietas kopi adalah kopi lembah baliem, yang ditanam di Wamena. Kopi ini memiliki sejarah panjang dan mulai diperkenalkan oleh Dinas Pertanian Belanda di era 1960-an.

Bila menengok sejarahnya, kopi wamena yang ditanam di ketinggian 1.400-2.700 meter di atas permukaan laut (mdpl) di Pegunungan Tengah Papua itu merupakan varietas kopi arabica terbaik dan berkualitas tinggi yang didatangkan dari Papua Nugini.

Begitu juga dengan kopi amungme. Kopi yang diproduksi di Kabupaten Timika, Papua, itu dibudidayakan suku Amungme. Kopi amungme memiliki struktur yang full-body, sedikit asam rasanya, beraroma manis yang sangat khas dan kuat serta memiliki after taste (rasa yang tertinggal) berupa rasa moka.

Demikian pula bila ingin merasakan nikmatnya kopi dengan rasa zat gizi yang tinggi dan rasa kopi yang lebih asam, jenis kopi ini dapat ditemukan pada kopi pegunungan bintang, kopi jenis arabika yang spesial.

Semua jenis kopi itu kini sangat mudah ditemukan di sejumlah coffee shop yang tumbuh subur di Sentani dan Kota Jayapura. Benar, kopi dari sejumlah daerah di Papua, bahkan kini sudah semakin diminati konsumen mancanegara, seperti Australia, Selandia Baru dan Amerika.

Dari gambaran di atas, kualitas dan cita rasa kopi asal Papua tidak diragukan lagi. Persoalannya, kopi-kopi itu ditanam di wilayah yang terpencil. Alhasil, kepastian pasokan seringkali mengalami kendala. Bilapun panen berhasil, biaya angkutan menjadi mahal.

Kendala itu diakui oleh Andre Pahabol, Ketua DPD Asosiasi Kopi Indonesia (Aski) Papua. “Masalah kepastian pasokan kopi asal Papua memang masih menjadi kendala kami. Namun, sejumlah kendala itu diupayakan terus diperbaiki,” ujarnya, dalam konferensi pers ‘Mendorong UMKM Papua Bangkit’ di Media Center PON XX Papua Kominfo, Jumat (08/10).

Salah satunya adalah membenahi masalah brand. “Kami ingin membenahi masalah brand. Kami ingin lebih mengenalkan brand Kopi Papua. Boleh saja, kopi berasal dari Wamena, dari Pegunungan Bintang, atau lainnya. Namun brand cukup satu ‘Kopi Papua’. Ini seperti kopi Gayo. Hanya satu nama meskipun variannya banyak,” ujar Sylvia Dewi Maharani, Coach Asosiasi Kopi Indonesia.

Dalam rangka itu, Aski pun kini tengah memberikan pelatihan bagi kalangan milenial untuk diperkenalkan soal kopi asal Papua, cara meraciknya dan menyeduhnya (barista).

“Kami ingin mengenalkan kopi sebagai tourism coffee ke kalangan milenial. Siswa yang dididik sebanyak 30 siswa. Output nantinya dari pelatihan itu, mereka bisa menjadi duta kopi asal Papua, baik dalam negeri maupun mancanegara,” kata Sylvia.

Sylvia menambahkan, pelatihan kepada anak milenial itu bertujuan agar mereka bisa menyajikan kopi dengan takaran yang benar. Satu gelas yang disajikan harus betul-betul berkualitas. “Makna lainnya, satu gelas kopi membawa nama baik petani daerah, tidak boleh salah karena bisa menghancurkan nama baik Papua,” ujarnya.

Selain itu, Andre Pahabol menambahkan, Asosiasi Kopi Indonesia juga mengajarkan petani-petani di daerah untuk menanam kopi. Kerja sama dengan petani pesisir kopi robusta, petani gunung kopi arabica sehingga mereka benar-benar siap mewakili brand kopi asal Papua.

Andre juga mengemukakan sebenarnya peminat pasar lokal untuk kopi asal Papua sudah banyak. Begitu juga untuk kepentingan ekspor, Persoalannya, tuturnya, permintaan yang begitu banyak tetapi tidak diikuti dengan kesiapan petani terutama keberlanjutan pasokannya.

“Oleh karena itu, kami juga mendorong masalah keberlanjutan pasokan dan pemasarannya sehingga kopi asal Papua tetap tersedia di pasar. Mimpi kami, Papua akan menjadi lumbung kopi nasional pada 2026 dan brand kopi asal Papuago global,” ujar Andre optimis.(indonesia.go.id)