Penyakit rabies masih menjadi perhatian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH) karena dapat menyebabkan kematian hampir 70 ribu kasus setiap tahunnya. Di Indonesia sendiri, kasus kematian akibat rabies terbilang masih cukup tinggi.
Hal itu disampaikan langsung oleh Prof Dr Jola Rahmahani drh MKes dalam pidatonya saat Pengukuhan Guru Besar oleh Rektor UNAIR di Aula Garuda Mukti, Kampus MERR C, Kamis (02/03) lalu. Dia mengatakan, upaya untuk mencapai Indonesia Bebas Rabies 2030 perlu digalakkan.
Guru besar mikrobiologi veteriner itu mengungkapkan bahwa program vaksinasi hewan rabies di Indonesia masih mengalami beberapa kendala pada aspek budaya, sosial, dan ekonomi. Sebagai contoh, keberagaman budaya di Indonesia memberikan perbedaan cara pandang masing-masing suku bangsa terhadap anjing sebagai hewan penular utama rabies sehingga dapat meningkatkan kerentanan infeksi.
“Di beberapa wilayah, anjing dimanfaatkan sebagai adu bagong di daerah Sunda, teman berburu di Sumatera Barat, penolong selama pelayaran bagi suku bugis, dan sebagai bahan konsumsi. Namun, saat ini konsumsi anjing sudah menurun karena adanya kampanye dog meet free,” ungkap Prof Jola.
“Selain itu, kendala pemberantasan juga terjadi dari aspek teknis, seperti status vaksinasi rabies, interaksi dengan anjing lain, kondisi fisik anjing, jumlah anjing yang dipelihara, dan tidak terkendalinya populasi hewan penular rabies dan hewan peliharaan yang dilepasliarkan,” sambungnya.
Prof Jola melanjutkan bahwa selain kendala-kendala yang telah disebutkan. Kendala perihal pemberian vaksinasi hingga saat ini juga masih mengalami beberapa hambatan dan keterbatasan dari segi efektivitas maupun efisiensi. Terutama, vaksinasi rabies pada anjing liar atau anjing tidak berpemilik. Oleh sebab itu, perlu upaya untuk menangani permasalahan tersebut, salah satunya dengan uji coba penerapan vaksin oral rabies pada anjing liar dan anjing yang dilepasliarkan.
“Vaksinasi hewan liar menggunakan vaksin oral rabies merupakan tahapan penting dalam mengontrol rabies. Vaksin oral rabies memiliki keunggulan pada program vaksin massal karena dinilai efektif dan jumlah individu yang divaksin lebih banyak,” ucap Prof Jola.
“Vaksinasi oral rabies dapat mencegah dan mengatasi penyebaran virus rabies di antara populasi dan menurunkan risiko infeksi pada hewan domestik dan populasi manusia. Selain itu, vaksinasi ini sudah diterapkan di beberapa negara dan menunjukan hasil yang baik,” tambahnya.
Terakhir, dia menyampaikan bahwa penelitian surveilans virus rabies di Indonesia menjadi faktor penting dalam menentukan galur virus rabies untuk vaksinasi ke depannya. Hal itu karena Indonesia memiliki banyak pulau yang berpotensi memunculkan perbedaan jenis virus rabies yang bersirkulasi.
“Kerja sama antar sektoral, penelitian, dan pendanaan yang memadai, surveilans, dan pendataan yang lengkap menjadi langkah awal dalam pemberantasan rabies di Indonesia. Diikuti dengan pengembangan vaksin sangatlah diperlukan untuk menghentikan penyebaran rabies pada hewan dan menyelamatkan jiwa manusia dari kematian akibat gigitan hewan penular rabies,” pungkasnya. (ita)