Tas Rajut Spesial Kerajinan Kaki
KOMUNITAS PERISTIWA

Tas Rajut Spesial Kerajinan Kaki

Bukan perkara mudah untuk menemukan kediaman perajin kreatif satu ini. Perlu waktu satu jam dan menempuh jarak sejauh 47 kilometer menyusuri arah selatan Kota Solo, Jawa Tengah.

Melewati persawahan seperti permadani hijau luas membentang seolah tak berujung hampir di sepanjang perjalanan, barulah kita sampai di tempat tinggalnya yang asri dan bersih. Nama perajin itu adalah Asih Mulyani.

Posisi kediamannya sekitar 300 meter dari kantor Desa Grogol, Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Desa ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sebuah kali kecil yang mengalir tepat di belakang rumah Asih dengan latar perbukitan kering berbatu karang menjadi batas antara Jawa Tengah dengan Yogyakarta.

Asih adalah penyandang disabilitas yang sejak 2018 bergelut dengan aktivitas pembuatan tas rajut menggunakan kedua kakinya. Ia terlahir disabilitas di kedua tangan. “Saya awalnya harus berlatih dulu supaya bisa merajut pakai kaki. Lama-kelamaan juga terbiasa,” ujarnya, membuka percakapan saat ditemui di kediamannya, Jumat (05/08).

Suasana tenang di permukiman tempatnya tinggal sangat mendukung kegiatan merajut yang dilakukan perempuan asli Weru, kelahiran 5 Sepember 1997 itu. Ia mengaku, setiap hari merajut paling lama dua jam.

Produk rajutannya beragam rupa dan sudah memiliki pelanggan yang tersebar di sekitar Sukoharjo, Solo, Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Surabaya, Bandarlampung, dan Medan.

Aneka kerajinan pesanan dari konsumen yang sudah ia kerjakan, antara lain, tas untuk laptop, home decor berupa pajangan kain rajut, taplak meja, alas gelas, tas tangan, sandal rajut, dompet rajut untuk ponsel, dompet penyimpan uang, ikat pinggang, hingga konektor penyangga masker.

Ia memanfaatkan media sosial untuk pemasaran produknya dengan akun @amor_ethnic, diambil dari nama produknya.

Produk-produk aneka warna tadi dibanderol mulai harga Rp15.000 untuk konektor masker hingga Rp400.000 untuk rajutan hiasan dinding dan tas laptop. Merajut manual seperti dilakukan Asih makan waktu lama, bisa berhari-hari.

Untuk sebuah karya, ia rata-rata memerlukan waktu antara tiga minggu sampai dua bulan bergantung tingkat kerumitan produk.

Asih sempat mempraktikkan cara membuat tas rajut. Ia terlihat sangat piawai melakukannya. Padahal, tiap model dan jenis tas punya susunan simpul rajutannya masing-masing. Setiap bagian tas harus dia rajut terlebih dulu, kemudian disatukan.

Untuk mengerjakan bagian ini, terkadang ia perlu bantuan saudara-saudara perempuannya. Ia mengaku senang dengan aktivitasnya itu, karena selain mampu menyalurkan bakat seninya, ia pun kini sudah punya tabungan sendiri dari kegiatan usaha tersebut.

Keahlian yang dimilikinya ini membuat Asih beberapa kali diminta sebagai pembimbing rajut untuk kalangan disabilitas di Sukoharjo dan kota-kota lainnya. “Cita-cita saya supaya produk ini bisa dikenal lebih luas lagi bukan saja di sekitar Jawa, tapi kalau bisa di seluruh Indonesia,” harapnya.

Menurut Maya selaku kakak iparnya, kerajinan Asih termasuk rapi dan teliti kendati dikerjakan dengan bantuan sepasang kaki. Ia mengaku turut membimbing Asih dalam hal sentuhan akhir (finishing touch) seperti kerapihan produk dan ketepatan waktu memenuhi pesanan konsumen.

“Asih memang disabilitas. Namun, pihak keluarga juga ingin agar dia berdaya dan menjadikan kegiatan ini sebagai aktivitas yang dapat dilakukan sehari-hari tanpa bermaksud mengekploitasi kekurangannya,” ujar Maya, alumni Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada tersebut.

Asih mengutarakan, kendala terbesar bagi dirinya adalah mendapatkan bahan baku tali katun produk lokal dengan kualitas bagus. Ia beberapa kali kesulitan menciptakan produk bekualitas. Ini lantaran produk-produk sejenis buatan lokal kualitasnya belum seperti yang diinginkannya.

Meski demikian, ia pantang surut dan terus berkarya menumpahkan segenap ide dan kreativitas agar bisa menyalurkan bakat dan kemampuan. (indonesia.go.id)