Cepat atau lambat, sejak revolusi industri yang dimulai di Inggris pada dua setengah abad silam, beragam proses produksi yang awalnya dijalankan manusia telah berganti dengan mesin. Lahirlah mesin-mesin uap, kereta uap, dan beragam produksi berskala besar.
Prosesnya makin cepat sejak era 1970-an, seiring dengan berkembangnya teknologi pintar; komputer dan perangkat lunak. Pada April 2011, dalam pertemuan di Hannover Fair, bergemalah penggunaan istilah industri 4.0.
Industri era 4.0 ini diartikan sebagai adanya keterlibatan sebuah sistem cerdas dan otomatisasi dalam perindustrian. Konsepnya yakni dengan penghimpunan dan pembacaan data yang dilakukan secara konsisten. Istilah artificial intellegence dan machince learning pun mulai sering disebut.
Lahirlah mesin-mesin pintar seperti chatbot dan robot. Melalui chatbot beragam pertanyaan bisa dijawab dalam waktu singkat. Belum lagi dengan teknologi kendaraan yang bisa menyetir secara otomatis. Di sinilah muncul kekhawatiran baru, yakni tenaga kerja yang ada bakal digantikan teknologi-teknologi tersebut.
Irzan Raditya yang merupakan CEO & Co Founder KATA.AI mengatakan, jika dibandingkan dengan revolusi industri beberapa puluh tahun ke belakang manusia memang akan tergantikan perannya pada pekerjaan tertentu. Namun lambat laun, teknologi juga memunculkan pekerjaan-pekerjaan baru.
“Hal ini yang terjadi juga dengan revolusi AI. Hal yang membedakan adalah AI menggantikan pekerjaan secara eksponensial,” ujarnya, dalam diskusi “Benarkah Teknologi AI Bikin Manusia Nganggur?”, Rabu (17/05).
Dalam diskusi itu dikatakan bahwa AI sebagai sebuah teknologi virtual, telah membantu manusia dalam meningkatkan produktivitasnya. AI hadir sebagai alat, tapi manusia adalah paling canggih dalam berpikir, merasakan, dan menggabungkan semuanya dalam pengambilan keputusan. “Saya percaya jika kita bekerja dengan AI akan menghasilkan output luar biasanya,” jelas Irzan.
Hal senada juga disampaikan Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Semuel Abrijani Pangerapan. Namun Semuel tidak sependapat bahwa AI akan menggantikan peran manusia. “ Itu agak terlalu jauh,” katanya.
Hanya saja Semuel tidak menampik banyak ketenagakerjaan yang hilang saat dimulainya tranformasi digital. “AI adalah bagian dari transformasi digital itu,” ujarnya.
Semuel menjelaskan, pemerintah tidak bisa mengatur teknologi. Namun, perilaku terkait itu dapat diatur. Contohnya, untuk apa AI itu digunakan. “Ini yang kita atur dan di dalam UU ITE sudah diatur terkait pelanggarannya misal kriminal, kejahatan kan bisa pakai apa saja. Kita tidak mau gegabah mengatur teknologi, tapi kita perilakunya,” ujarnya.
Melek Digital
Guna beradaptasi dalam perubahan di era industri 4.0 ini tidak bisa hanya berdiam diri. Pemerintah pun sadar perlu adanya langkah untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) unggul di sektor digital. Setidaknya Indonesia butuh 600 ribu SDM melek digital per tahun.
Menurut Semuel, ada dua program besar dalam persiapan transformasi digital ini. Pertama, literasi digital guna membukakan wawasan masyarakat tentang tranformasi tersebut. Ada empat pilar yang dibangun yakni digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety.
Kedua, melalui program Digital Talent Scholarship. Melalui program ini, Kemkominfo memberikan beasiswa talenta bagi mereka yang ingin meningkatkan wawasan di dunia digital. “Ini untuk menyiapkan keterampilan baru buat mengisi pekerjaan baru dalam transformasi ini,” jelasnya.
Semuel lantas mencontohkan, dengan kelahiran UU Perlindungan Data Pribadi. Tim Kemkominfo sudah melakukan perhitungan berapa banyak profesi di dalam bidang perlindungan data pribadi yang dibutuhkan. “Dari data kami ada 150 ribu yang namanya profesi DPO (data protection officer) ini mulai ada unit-unitnya di setiap perusahaan,” jelasnya.
Kemudian ada juga profesi digital marketing dan konten kreator yang muncul di era transformasi ini. “Kita tidak bisa berdiam diri harus bisa beradaptasi dan produktif dalam mengisi peluang-peluang baru.”
Sejatinya, kata Semuel, teknologi AI udah dibicarakan 50 tahun lalu dan digunakan dengan skala masih minim atau sederhana. Saat ini, adopsi teknologi AI di sektor swasta dan pemerintah membutuhkan waktu. “Karena itu harus disiapkan disinkronkan dengan kesiapan masyarakat dengan era digital baru ini.” Dengan proses sinkronisasi ini, maka kekhawatiran akan hilangnya pekerjaan tertentu akan terkompensasi dengan peluang kerja baru.(indonesia.go.id)