Indonesia memiliki potensi lahan sagu terbesar di dunia, namun baru 4% yang dimanfaatkan. Mengapa sagu begitu penting bagi ketahanan pangan dan ekonomi nasional kita? Temukan jawabannya dan bagaimana sagu bisa menjadi komoditas unggulan di pasar global.
Selain nasi (beras), ada 11 bahan pokok utama pangan lain di Indonesia. Enam di antaranya yang paling banyak dikonsumsi, yakni: jagung, talas, pisang, singkong, kentang dan sagu. Di antara ke-6 bahan pangan tersebut, Indonesia punya potensi sebagai pemilik lahan tanaman sagu paling luas di dunia.
Hanya saja, kata Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita, baru sekitar 4% lahan yang dimanfaatkan dari total potensi yang ada.
“Indonesia memiliki potensi luas lahan sagu terbesar di dunia. Dari 6,5 juta hektare (ha) lahan sagu di seluruh dunia, sekitar 5,5 juta ha atau 85%-nya berada di Indonesia,” kata Agus Gumiwang dalam Simposium Nasional Industri Pengolahan Sagu di Gedung Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (29/07).
Merujuk data statistik perkebunan Kementan 2022, kurang dari 4% luas areal sagu kawasan nasional yang baru termanfaatkan. Atau seluas 212.468 hektare dengan total produksi sagu sebanyak 385.905 ton pada 2022. Adapun potensi sebaran lahan sagu di Indonesia terluas sekitar 5,2 juta ha ada di Papua.
Dengan wilayah seperti Merauke, Sarmi, dan Mimika, Papua merupakan kontributor utama produksi sagu. Menyusul kemudian, Maluku dan Sulawesi yang memiliki areal hutan sagu yang luas.
Di Sulawesi, daerah seperti Palopo dan Luwu dikenal sebagai penghasil sagu berkualitas tinggi. Provinsi Riau menjadi wilayah produksi terbesar kedua dengan hasil mencapai 285.468 ton dari lahan seluas 76.597 hektare.
Meski punya lahan yang lebih rendah, tingkat produktivitas tanam di Riau jauh lebih tinggi dari Papua. Di mana Riau menghasilkan sagu 3,73 ton per hektare dan Papua hanya 1,21 ton per hektare. Sedangkan Provinsi Maluku (peringkat ke-3 nasional) hanya mampu menghasilkan 0,27 ton sagu per hektare.
Sagu, dikutip dari www.pertanian.go.id, sebelum datangnya beras ke tanah air, merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat di wilayah timur Indonesia. Selama berabad-abad, sagu telah menjadi makanan pokok warga di banyak daerah seperti Papua, Maluku, dan Sulawesi.
Tradisi mengolah sagu telah pula diwariskan turun-temurun. Hal ini mencerminkan kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk kebutuhan hidup. Umumnya sagu di konsumsi dalam bentuk gel, kemudian ditambah kuah ikan atau dikenal sebagai pepeda (Papua) dan kapurung (Sulawesi Selatan). Sagu juga diolah menjadi pempek, makanan khas Sumatra Selatan.
Hasil olahan sagu lain adalah sagu bakar dan dange yang biasa dikonsumsi masyarakat Sulawesi. Sementara masyarakat Meranti mengkonsumsi sagi dalam bentuk kue tradisional dan mi. Selain itu sagu juga bisa diolah menjadi bahan sohun/bihun.
Kenapa sagu dipilih untuk memenuhi kebutuhan pokok? Diketahui tanaman sagu kaya kandungan karbohidrat. Selain memiliki nilai budaya dan sejarah yang mendalam, sagu juga menyimpan potensi besar untuk mendukung ketahanan pangan dan ekonomi nasional.
Seiring dengan meningkatnya permintaan pasar, industri pengolahan sagu di Indonesia juga berkembang. Saat ini, menurut data yang dihimpun Kemenperin, terdapat beberapa pabrik pengolahan sagu modern yang tersebar di Papua dan Sulawesi.
Pabrik-pabrik tersebut tidak hanya memproduksi tepung sagu untuk konsumsi domestik, tetapi juga untuk diekspor ke berbagai negara. Salah satu contohnya adalah pabrik pengolahan sagu di Kabupaten Sarmi, Papua, yang mampu memproduksi hingga 50 ton pati sagu per hari. Masyarakat Bogor mengolah sagu menjadi mi gleser (sumber: BISP Kementan).
Pada 2023, nilai ekspor pati sagu Indonesia mencapai USD150 juta, dengan negara tujuan utama seperti Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara di Eropa. Potensi ini diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan semakin banyaknya investasi di sektor ini dan meningkatnya kesadaran akan manfaat sagu sebagai sumber pangan alternatif yang sehat.
Kontribusi subsektor tanaman pangan sagu menurut catatan Kementan menyerap tenaga kerja atau petani sagu mencapai 286.007 kepala keluarga. Sedangkan dalam hal kontribusi ekspor nilai ekspor sagu yang sudah masuk dalam peta jalan diversifikasi pangan 2020–2024 Kementerian Pertanian, pada 2019 menyumbang sebesar Rp47,52 miliar dan total volume 13.892 ton.
Potensi sagu Indonesia tidak hanya sebagai bahan pangan alternatif, tetapi juga sebagai sumber ekonomi yang menjanjikan. Dengan strategi yang tepat dan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, Indonesia dapat memanfaatkan potensi sagu secara optimal untuk kesejahteraan bersama.
Sagu memiliki keunggulan sebagai sumber karbohidrat yang bebas gluten, menjadikannya alternatif yang sehat bagi penderita celiac atau orang yang menjalani diet bebas gluten. Selain itu, sagu juga memiliki kandungan serat yang tinggi, baik untuk pencernaan, dan dapat diolah menjadi berbagai produk makanan seperti mi sagu, kerupuk, dan roti.
Mencermati pentingnya sagu, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian pun mendorong pengembangan industri sagu. Salah satu langkah konkret yang dilakukan adalah melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi lahan sagu, serta memberikan pelatihan kepada petani mengenai teknik budidaya dan pengolahan sagu yang baik.
Dengan potensi yang besar dan dukungan dari berbagai pihak, sagu memiliki masa depan yang cerah di Indonesia. Pengembangan sagu tidak hanya akan mendukung ketahanan pangan, tetapi juga membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah penghasil sagu. Jika dikelola dengan baik, sagu bisa menjadi salah satu komoditas unggulan Indonesia di pasar global. (indonesia.go.id)