Solusi Krisis Listrik di NTT
PERISTIWA TEKNOLOGI

Solusi Krisis Listrik di NTT

Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu wilayah di Indonesia dengan rasio elektrifikasi yang rendah. Menanggapi kondisi itu, tim mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) pun mencoba memberikan solusi sistem ketenagalistrikan bawah laut berbasis hydrothermal vent yang ramah lingkungan.

Hydrothermal vent merupakan retakan di permukaan planet yang dapat memanaskan perairan secara geothermal. Energi panas dari hydrothermal vent ini yang akan digunakan sebagai sumber utama pembangkit listrik. “Potensi hydrothermal vent belum pernah dimanfaatkan untuk pembangkit,” ungkap Bayu Saputra, ketua tim.

Bersama dua rekan timnya, Ardi Lukman Hakim (Departemen Kimia 2020) dan Christian Vieri Halim (Departemen Teknik Fisika 2020), Bayu menggagas pembangkit listrik energi terbarukan tenaga hydrothermal vent bawah laut di Kawasan Busur, Perairan Komba, NTT. “Di kawasan ini tingkat kerapatan hydrothermal vent tinggi dan dapat menghasilkan energi lebih besar,” jelas mahasiswa Departemen Teknik Geomatika ini.

Inovasi ini berhasil menyabet juara II dalam Marine Innovation Festival Indonesia 2021 yang diadakan Himpunan Mahasiswa Sistem Perkapalan Fakuktas Teknik Universitas Hasanuddin (HMSP FT-UH), belum lama ini.

Tahapan awal dari kerja pembangkit ialah semburan fluida panas dari hydrothermal vent ditangkap oleh kubah raksasa. “Karena mengandung banyak mineral, maka fluida perlu difiltrasi terlebih dahulu,” terangnya.

Fluida hasil filtrasi akan masuk ke bagian MSF evaporator, sementara residunya dipompa keluar. Pada MSF evaporator, fluida panas akan dinetralkan menjadi fluida murni. “Fluida murni ini akan menunjang keefektivitasan kerja turbin,” lanjut mahasiswa angkatan 2020 ini.

Lebih lanjut, pemuda asal Blitar ini menjelaskan bahwa hasil fluida murni akan masuk ke mixing chamber lalu dialirkan ke boiler. Di dalam boiler fasa fluida akan diubah menjadi uap air. “Uap air bersuhu dan bertekanan tinggi ini akan memutar turbin yang terhubung ke generator untuk menghasilkan listrik,” paparnya.

Setelah dimanfatkan untuk menggerakkan turbin, lanjut Bayu, fluida akan dipompa kembali ke mixing chamber dan bercampur dengan fluida murni yang baru diproses guna menggerakkan turbin. “Untuk transmisi listrik kami menggunakan submarine cable,” tambah mahasiswa kelahiran 2003 ini.

Untuk konstruksi alat menggunakan ballast tank sehingga pembangunan dan perwatan lebih mudah pada kedalaman 1.500-2.000 meter. Di kedalaman laut, faktor-faktor seperti tekanan tinggi, fluktuasi suhu, serta ketahanan guncangan sangat berpengaruh.

“Kubah bergaris adalah solusi dari kendala tersebut karena mampu mengalirkan panas secara merata sehingga tidak terjadi stress di satu titik,” ujarnya.

Terakhir, Bayu menyampaikan harapannya agar inovasi ini mendapat perhatian dan penelitian lebih lanjut mengingat masih sangat kurangnya penelitian mengenai hydrothermal vent ini. “Semoga karya ini dapat diimplementasikan ke masyarakat, terlebih pembangkit ini sangat realistis untuk dibangun,” tuntasnya seraya berdoa. (ita)