Elang Hitam, Pesawat Nirawak Indonesia
PERISTIWA TEKNOLOGI

Elang Hitam, Pesawat Nirawak Indonesia

Indonesia kini diyakini mampu mandiri dalam memproduksi alutsista, melalui peran teknologi dan inovasi di era revolusi industri 4.0.

Pemerintah memang berupaya untuk mendorong pengimplementasian teknologi dalam segala sektor, termasuk bidang pertahanan.

Sebagai institusi pemerintah yang berfokus pada bidang kaji terap teknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pun turut ambil bagian dalam mensukseskan cita-cita pemerintah.

Inovasi dalam bidang pertahanan ini dihadirkan melalui pengembangan Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) atau Drone, tipe Medium Altitude Long Endurance (MALE) atau disebut PUNA MALE.

Wahana yang diyakini mampu terbang tanpa henti selama 24 jam ini memiliki pengendalian multiple UAV secara bersamaan (simultan).

Konsep operasi MALE ini tentu saja memungkinkan untuk melakukan pengawasan dalam menjaga kedaulatan NKRI, baik di wilayah darat maupun laut melalui pantauan udara.

Penjagaan ini diyakini pula sangat efisien dan mampu meminimalisir risiko kehilangan jiwa karena dioperasikan tanpa pilot. Kepala BPPT Hammam Riza mengatakan bahwa PUNA MALE merupakan inovasi karya anak bangsa. “Pesawat Tanpa Awak MALE ini hasil rancang bangun, rekayasa dan produksi anak bangsa. ” ujar Hammam, di Bandung, akhir Desember 2019 lalu.

Dalam acara roll out yang dilaksanakan di Hanggar PT Dirgantara Indonesia ini, Hammam pun memberitahukan kepada para peserta yang hadir, bahwa Menteri Riset Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang PS Brodjonegoro menamai PUNA MALE ini dengan nama Elang Hitam (Black Hawk).

“Bapak Menteri sangat mendukung hilirisasi teknologi PUNA MALE ini, bahkan sangking antusiasnya, beliau sampai memberikan nama Elang Hitam,” terang Hammam.

Pemerintah memang terus berfokus untuk melakukan pengawasan kedaulatan negara namun melalui upaya pengawasan yang efisien.

Hal ini dilakukan seiring peningkatan ancaman yang terjadi di daerah perbatasan, serta kasus lainnya seperti terorisme, penyelundupan, pembajakan, hingga pencurian Sumber Daya Alam (SDA) diantaranya illegal logging dan illegal fishing.

“Kebutuhan pengawasan dari udara yang efisien dan kemampuan muatan (payload) yang lebih besar dan jangkauan radius terbang yang jauh secara continue menjadi kebutuhan yang harus diantisipasi,” kata Hammam.

Hammam kemudian menjelaskan bahwa inisiasi pengembangan PUNA MALE ini telah dimulai sejak 2015 silam oleh Balitbang Kementerian Pertahanan (Kemhan).

Hal itu ditandai melalui kesepakatan rancangan, kebutuhan dan tujuan (DR&O) PUNA MALE yang akan dioperasikan oleh TNI, khususnya TNI Angkatan Udara (AU).

“Proses perancangan dimulai dengan kegiatan preliminary design, basic design dengan pembuatan dua kali model terowongan angin dan hasil uji nya di tahun 2016 dan tahun 2018,” jelas Hammam.

Setelah itu, kata Hammam, dilanjutkan dengan pembuatan engineering document and drawing tahun 2017 melalui anggaran dari Balitbang Kemhan dan BPPT.

Kemudian pada 2017, perjanjian bersama pun dibentuk dengab adanya Konsorsium Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA MALE).

Anggotanya pun terdiri dari Kemhan RI yaitu Ditjen Pothan dan Balitbang, BPPT, TNI AU (Dislitbangau), Institut Teknologi Bandung/ITB (FTMD), BUMN melalui PT Dirgantara Indonesia (DI) serta PT Len Industri.

Selanjutnya tahun 2019 ini, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) pun masuk sebagai anggota konsorsium tersebut.

Hammam kembali menyampaikan, pada tahun 2019 ini tahap manufacturing pun dimulai melalui beberapa tahapan.

“Langkah ini diawali dengan adanya proses design structure, perhitungan Finite Element Method, pembuatan gambar 3D serta detail drawing 2D yang dikerjakan oleh engineer BPPT dan disupervisi oleh PT Dirgantara Indonesia,” tegas Hammam.

Kemudian prosesnya dilanjutkan melalui pembuatan tooling, molding, cetakan dan fabrikasi dengan proses pre-preg dengan autoclave.

Selain itu, pada 2019 ini, dilakukan pula pengadaan Flight Control System (FCS) yang diproduksi di Spanyol.

Rencananya FCS ini akan diintegrasikan di awal 2020, pada prototype PUNA MALE pertama (PM1) yang telah dibuat oleh engineer BPPT dan PT Dirgantara Indonesia yang telah mendapatkan pelatihan untuk mengintegrasikan dan mengoperasikan sistem kendali tersebut pada prototype yang dibuat di PT Dirgantara Indonesia.

Dikatakan Hammam, 2 unit prototype pun akan dibuat pada 2020 yang direncanakan untuk diterbangkan dan uji kekuatan struktur di BPPT.

Sementara untuk proses sertifikasi produk militer, dimulai tahun ini dan diharapkan sudah mendapatkan sertifikat tipe dari Pusat Kelaikan Kementerian Pertahanan RI (IMAA) pada akhir 2021.

Pengintegrasian sistem senjata pada prototype PUNA MALE ini juga akan dilakukan mulai tahun 2020 dan diharapkan pula mendapatkan sertifikasi tipe produk militer pada tahun 2023.

Lebih lanjut Hammam menekankan harapannya agar kehadiran PUNA MALE ini mampu menjawab tantangan terkait pengawasan kedaulatan NKRI dan mampu mendorong Indonesia menjad negara yang tidak hanya memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) unggul, namun juga maju, mandiri dan berdaya saing.

“Diharapkan dengan kemandirian ini maka PUNA MALE buatan Indonesia dapat mengisi kebutuhan squadron TNI AU untuk dapat mengawasi wilayah NKRI melalui wahana udara,” pungkas Hammam.

Perlu diketahui, pengembangan Drone atau PUNA tipe MALE ini memang seratus persen dilakukan oleh putra-putri Indonesia.

PUNA tipe MALE ini rencananya akan dipersenjatai rudal dan mampu terbang selama 24 jam nonstop dengan ketinggian jelajah hingga 23.000 ft.

Untuk merealisasikannya, pemerintah pun membentuk konsorsium yang beranggotakan BPPT, Kemhan dan TNI AU sebagai pengguna, ITB sebagai mitra perguruan tinggi, PT Dirgantara Indonesia sebagai mitra industri pembuatan pesawat, serta PT LEN Persero yang mengembangkan sistem kendali dan muatan.

Program flagship MALE Kombatan sengaja dirancang untuk memperkuat terjadinya transfer teknologi kunci serta menghidupkan industri nasional pendukung Tier 2, Tier 3 dan seterusnya.

Program MALE Kombatan ini disinergikan dengan proses pengadaan yang tengah berlangsung di Kemhan, tentunya untuk dapat memaksimalkan manfaat dari proses tersebut.

Muaranya adalah pembangunan industri pertahanan baru yang akan berdampak pada peningkatan pergerakan roda perekonomian nasional.

Yang menjadi catatan penting dalam semua proses ini adalah terkait kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang harus diposisikan sebagai kebijakan strategis.

Tentunya kebijakan ini harus dijalankan secara konsisten untuk menghasilkan teknologi kunci pendukung MALE seperti teknologi-teknologi Flight Control System yang mampu Auto Take-Off Auto Landing (ATOL), Mission System, Weapon-platform integration dan Teknologi Komposit, Radar SAR, Inertial Navigation System (INS), Electro-Optics Targeting System (EOTS) dan Guidance System.

Teknologi kunci itu tidak diberikan oleh negara maju, sehingga penguasaan di industri pendukung tentunya harus diupayakan sendiri.

Jika teknologi kunci tersebut sudah dikuasai, maka akan dapat di Spin Off untuk penerapan pada alutsista/alat peralatan pertahanan dan keamanan (Alpalhankam) lainnya yang strategis. (rri)