Senyapnya Respon Kudeta Myanmar
KOMUNITAS PERISTIWA

Senyapnya Respon Kudeta Myanmar

Awal Februari 2021 publik internasional diramaikan dengan berita kudeta militer Myanmar terhadap pemerintahan demokratis Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang terpilih secara demokratis melalui pemilihan umum.

Hal tersebut membuat banyak masyarakat Myanmar mengirim pesan-pesan yang bernada meminta pertolongan mengikuti situasi domestik yang semakin memanas.

Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah respon dunia internasional terhadap gejolak politik domestik di negara tersebut?

Dosen Hubungan Internasional (HI) Universitas Airlangga (UNAIR) I Gede Wahyu Wicaksana SIP MSi PhD mengungkapkan bahwa respon internasional terhadap kudeta militer Myanmar terbilang sangat pasif, terlebih lagi di kawasan Asia Tenggara.

Menurut Wahyu, hal tersebut terjadi akibat kelihaian Jenderal Min Aung Hlaing, sang pemimpin kudeta, dalam memilih momen yang tepat untuk memulai agregasi terhadap pemerintahan demokratis Myanmar. Kausal pertama adalah kesadaran junta militer Myanmar bahwa ASEAN akan enggan untuk mengintervensi masalah domestik Myanmar.

ASEAN memiliki prinsip non-intervensi dan membutuhkan suara bulat untuk membuat keputusan bersama atas suatu isu. Oleh karena itu, kecil kemungkinan bagi organisasi regional tersebut untuk ikut campur dalam masalah domestik di Myanmar, meskipun beberapa respon normatif telah dikeluarkan.

Kausal kedua disampaikan oleh dosen HI UNAIR yang lain, Citra Hennida SIP MA. Menurutnya, pandemi Covid-19 yang secara konsisten menjadi prioritas banyak negara muncul sebagai intervening variable yang penting dalam kudeta militer Myanmar.

“Hal tersebut membuat aktivitas internasional banyak negara menjadi berubah. Seperti contoh Indonesia. Negara kita sebenarnya berpeluang besar untuk menjadi pihak ketiga dalam kudeta Myanmar. Tapi saya tidak berpikir Presiden Jokowi akan melakukan pilihan tersebut,” terang Citra.

Indonesia sendiri sejak lama telah dikenal sebagai mediator di antara negara-negara ASEAN. Indonesia pun memiliki hubungan istimewa dengan Myanmar yang dibuktikan melalui status Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Lestari Marsudi yang menjadi delegasi asing pertama yang diizinkan untuk memasuki wilayah konflik Rohingya di Rakhine.

“Tapi angka Covid-19 di Indonesia tidak kunjung mereda, dan Jokowi adalah seorang yang pragmatis. Menjadi baik hati dan menolong negara lain kini bukanlah prioritas utama bagi Indonesia,” paparnya dalam diskusi Cakra Studi Global Strategies (CSGS) HI UNAIR, pekan lalu.

Citra pun memandang bahwa Indonesia akan hanya mengambil sikap apabila telah terjadi pelanggaran kemanusiaan besar-besaran seperti yang terjadi pada pengungsi Rohingya.

Pada sisi lain Wahyu melihat sejauh ini kudeta militer Myanmar dilakukan dengan halus tanpa adanya represi fisik secara meluas maupun pelanggaran HAM berat terhadap masyarakat. Hal tersebut memastikan bahwa kudeta Myanmar akan sebatas menjadi masalah domestik negara dan tidak memiliki urgensi besar bagi regional kawasan.

“Tidak mengherankan jika kemudian kudeta militer di Myanmar hanya menjadi isu senyap bagi komunitas internasional, khususnya saat pandemi urung mereda dan junta militer memilih momen tepat pasca pemilu yang menjadi alasan bagi aksi mereka,” tandasnya. (ita)