Sepotong Cinta Nikita di Kalimantan
KOMUNITAS PERISTIWA

Sepotong Cinta Nikita di Kalimantan

Jejak peradaban bangsa Eropa di Indonesia tentulah sudah banyak yang mahfum. Kisah bangsa Belanda dan Portugis berabad silam menancapkan kenangan di tanah Nusantara dalam berbagai ragam bentuk bangunan dan infrastruktur. Namun di antara kisah itu terselip pula nama Uni Soviet pada kenangan ragam bangunan di bumi Indonesia.

Uni Soviet adalah nama yang pernah disematkan kepada negara yang didirikan pada 30 Desember 1922 dengan luas 22,4 juta kilometer persegi atau seperenam dari luas Bumi. Dan ini menjadikannya sebagai negara paling luas di dunia, bahkan saat itu negara federasi berjuluk Beruang Merah tersebut berbatasan dengan 13 negara.

Hari ini kita mengenalnya sebagai Rusia, sebuah nama yang hadir usai Soviet dibubarkan presiden terakhirnya, Mikhail Gorbachev pada 26 Desember 1991. Soviet atau Rusia memiliki sentuhan arsitektur khas timur Eropa. Kaku, kokoh, dan kuat menjadi ciri yang paling mudah dikenang dari ragam bentuk bangunan dan infrastruktur lain yang pernah dibuat oleh tangan-tangan terampil masyarakat Soviet untuk bangsa Indonesia.

Tak hanya dirasakan oleh warga Ibu Kota Jakarta, jejak infrastruktur Soviet pun ikut dinikmati oleh masyarakat di Pulau Kalimantan. Utamanya di Kota Balikpapan, Samarinda, dan Palangkaraya, bahkan sejak berpuluh tahun lampau hingga hari ini.

Semua itu bermula dari sebuah pengakuan resmi Ibu Kota Moskow terhadap kehadiran Indonesia sebagai sebuah negara merdeka pada 36 Januari 1950 silam berlanjut dengan pembukaan hubungan diplomatik kedua negara beberapa tahun setelahnya. Sebuah langkah silaturahim yang dilakukan Presiden RI Pertama Soekarno ke Moskow pada 28 Agustus hingga 12 September 1956 menjadi pembuka jalan bagi masuknya pengaruh arsitektur Soviet di tanah air.

Saat itu, Soekarno menyaksikan ditandatanganinya sebuah kesepakatan bersama oleh Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani dan Wakil Menlu Andrey Andreyevich Gromyko pada 11 September 1956. Selepas itu, para pemimpin kedua negara mulai rutin membuka diri dan membahas kesepakatan lanjutan untuk membantu memajukan Indonesia.

Mendaratnya pesawat Ilyushin-18 di Bandar Udara Internasional Kemayoran pada 18 Februari 1960 menjadi penanda dari puncak hubungan Jakarta-Moskow. Pesawat turboprop berkekuatan 4 mesin Ivchenko AI-20M berdaya jelajah hingga 7 ribu kilometer itu menjadi pengangkut Perdana Menteri Nikita Khrushchev untuk menyinggahi Jakarta.

Ratusan warga bersorak di Kemayoran atas kedatangannya. “Saya tercengang dengan luar biasanya sambutan untuk kunjungan kami,” kata Khrushcev, dalam Memoirs of Nikita Khrushchev: Volume 3. Selama 12 hari, pemimpin Soviet ketiga ini bermuhibah ke beberapa penjuru Indonesia, mulai Jakarta, Yogyakarta, Denpasar, hingga Ambon.

Sang Kamerad terkesan dengan keindahan alam dan iklim tropis Indonesia serta kekayaan flora fauna yang terkandung di dalamnya. Begitu pula ragam buah tropis Indonesia yang setiap hari selalu ia santap. Cinta Nikita pun bersemi di bumi Indonesia dan membuahkan sejumlah kesepakatan besar. Termasuk membantu Soekarno untuk mewujudkan jalan bebas hambatan Trans Kalimantan yang menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana (RPNSB) tahap pertama, 1961-1969.

Pembangunan ruas bebas hambatan yang dikenal sebagai Proyek Jalan Kalimantan (Projakal) ini tak lepas dari rencana Soekarno untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke Palangkaraya. Kota itu merupakan hasil rancangan presiden berlatar belakang arsitek yang diresmikan pembangunannya dari Desa Pahundut, sebuah kampung berpenduduk 900 jiwa di tepian Sungai Kahayan, 17 Juli 1957.

Gubernur pertama Kalimantan Tengah Tjilik Riwut pernah menjelaskan, penamaan sekaligus arti nama kota tersebut. Dalam bukunya Memperkenalkan Kalimantan Tengah dan Pembangunan Kota Palangka Raya yang terbit di tahun 1962, ia menulis kota itu diambil dari nama Tetek Tatum, sebuah cerita kepahlawanan dalam bahasa Sangiang atau Dayak kuno. “Palangka” artinya gandar atau tempat yang suci dan “raya” adalah besar. “Sehingga Palangkaraya adalah tempat yang suci dan besar,” tulis Tjilik Riwut.

Jalan Rusia
Setahun setelah muhibah ke Jakarta, Khrushchev pun menepati janjinya. Ia mengirimkan puluhan pekerja berlatar arsitek dan beragam alat berat, termasuk helikopter, untuk memulai pembangunan jalan poros Palangkaraya menuju Pangkalan Bun sejauh 450 kilometer. Jalan ini untuk mempermudah pengangkutan barang kebutuhan pokok dari pelabuhan di Pangkalan Bun menuju pusat kota di Palangkaraya sekaligus pelaksanaan kesepakatan yang telah dibuat di Moskow pada 11 September 1956.

Khrushchev juga menugaskan pasangan suami-istri arsitek, Alexander Yurievich Kovalcuk dan Lena Muhametrakimovna Kovalcuk, untuk mendesain pembangunan jalan. Keduanya dikenal sebagai sosok yang sukses membangun jalan di atas rawa di Mongolia. Alam menjadi tantangan terberat para arsitek Soviet karena mereka harus membelah hutan dan menggali sedalam mungkin lahan gambut Kalimantan untuk menciptakan jalan baru berkualitas tinggi.

Gambut yang selalu basah menjadi ciri khas lahan dataran rendah Pulau Kalimantan. Bekas galian gambut sedalam empat meter yang membentuk alur kemudian ditimbun batu-batu besar, pasir dan tanah sebelum diaspal. Batu-batu besar diambil dari perbukitan karst di sekitar lokasi dengan dihancurkan memakai dinamit.

Seperti ditulis dalam buku Jalan di Indonesia; Dari Sabang Sampai Merauke terbitan Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, proyek pembangunan jalan tak hanya dikerjakan di Palangkaraya. Puluhan pekerja Soviet lainnya juga disibukkan dengan pembangunan ruas Samarinda-Balikpapan, Kalimantan Timur, sejauh 115 km. Ikut dibangun pula ruas Tanjung ke Kuaro di Kalimantan Selatan, sejauh 126 km.

Seperti halnya ruas Palangkaraya, para pekerja konstruksi Soviet harus bekerja keras menggali lahan gambut untuk dijadikan jalan raya. Termasuk menaklukkan kerasnya kehidupan hutan belantara Kalimantan yang masih perawan, pada saat itu. Para pekerja Soviet ini dibantu ratusan warga lokal dari suku Dayak dan ratusan lainnya yang didatangkan dari Pulau Jawa.

Selang lima tahun kemudian, wujud jalan tersebut mulai terlihat membentang lurus sejauh mata memandang dengan aspal legamnya kontras menyeruak di antara hijaunya rimbunan pepohonan besar hutan Kalimantan. Termasuk ruas Palangkaraya hingga Tangkiling sejauh 34 km yang rampung dikerjakan pada 1965 dan di kemudian hari, ruas itu dinamai Jalan Tjilik Riwut.

Sedangkan ruas Samarinda-Balikpapan tinggal menyisakan pekerjaan beberapa kilometer saja. Saat ini, ruas Samarinda-Balikpapan dikenal sebagai Jalan Soekarno-Hatta. Proyek jalan Kalimantan oleh para pekerja Soviet tidak dilanjutkan karena memanasnya situasi politik Indonesia saat itu. Puluhan pekerja asal Soviet terpaksa dipulangkan ke negaranya, begitu pula dengan para pekerja lokalnya banyak yang memilih tinggal tak jauh dari lokasi proyek.

Pekerjaan yang belum rampung karena ditinggal pergi pekerja Soviet, di kemudian hari, dilanjutkan oleh insinyur-insinyur Jepang sebagai bagian dari bantuan hibah Negara Matahari Terbit itu kepada Indonesia. Meski begitu, masyarakat setempat lebih mengenal jalan-jalan berusia lebih dari separuh abad tersebut sebagai Jalan Rusia dan masih berfungsi untuk transportasi darat hingga hari ini.

Hebatnya lagi, aspal-aspal legam itu nyaris tak pernah rusak, terutama ruas Palangkaraya-Tangkiling dan membuat dinas pekerjaan umum setempat hanya perlu melakukan perawatan ringan saja. Jalan Rusia telah menjadi saksi bisu tak hanya kekuatan dan ketangguhan konstruksi ala Kremlin, tetapi bagaimana eratnya hubungan diplomatik Rusia dengan Indonesia yang telah berlangsung selama 71 tahun. (indonesia.go.id)