Solusi Pengelolaan Sampah Kota
EKONOMI BISNIS PERISTIWA

Solusi Pengelolaan Sampah Kota

Pengelolaan sampah kerap menjadi masalah pelik di setiap kota. Khususnya di kota-kota dengan jumlah penduduknya besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Makassar, dan Surabaya.

Ketika sampah tidak diolah serta dikelola dengan baik, maka akan berdampak pencemaran lingkungan, polusi udara, hingga membahayakan jiwa. Tumpukan sampah bisa memicu ledakan gas metana. Seperti yang terjadi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Bandung, Jawa Barat, beberapa tahun silam.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, pada 2020, total produksi sampah nasional sudah mencapai 67,8 juta ton. Artinya, ada sekitar 185.753 ton sampah setiap harinya dihasilkan oleh 270 juta penduduk. Atau setiap penduduk memproduksi sekitar 0,68 kilogram sampah per hari.

Angka tersebut meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2018 saja, produksi sampah nasional sudah mencapai 64 juta ton dari 267 juta penduduk. Lambat laun, timbunan sampah-sampah itu bisa menggunung di TPA jika saja tidak diolah.

Beberapa kota di Indonesia sudah menerapkan pola reuse, reduce, recycle (3R) dalam mengatasi masalah sampah. Kota Surabaya, Jawa Timur, merupakan salah satu daerah yang serius menerapkan tata kelola sampah. Sejak beberapa tahun terakhir, Pemkot Surabaya berhasil mengolah sampah menjadi energi listrik di TPA Benowo, Kelurahan Romokalisari, Kecamatan Benowo.

Sedikitnya 1.300-1.500 ton sampah per hari yang dikumpulkan dari masyarakat diolah di TPA Benowo. Lahan TPA seluas 37,4 hektare tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik sebagai sumber energi maupun sirkular ekonomi untuk masyarakat setempat.

Sampai akhirnya, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) meresmikan langsung instalasi Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) di TPA Benowo, Romokalisari, Surabaya, Kamis (06/05). PSEL di Surabaya ini adalah yang pertama beroperasi secara komersial dari tujuh kota yang telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) nomor 18 tahun 2016. “Kecepatan bekerja Pemerintah Kota Surabaya patut kita acungi jempol sehingga ini selesai yang pertama,” ungkap Presiden Jokowi.

Tujuh kota yang masuk dalam Perpres nomor 18 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar.

Kemudian perpres itu diubah menjadi Perpres nomor 35 tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Melalui perpres itu, jumlah kota yang ditunjuk menjadi 12 kota, dengan tambahan lima kota lainnya, yaitu Kota Tangerang Selatan, Kota Bekasi, Kota Denpasar, Kota Palembang, dan Kota Manado.

Menurut Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi, kapasitas PSEL Benowo mencapai 11 megawatt (MW) listrik. Berkat kerja sama dengan produsen listrik swasta dan PLN dapat menghasilkan suplai listrik bagi masyarakat sekitar Surabaya, sebesar 2 MW dari sanitary landfill gas power plant yang sudah beroperasi sebelumnya dan 9 MW dari gasification power plant yang baru diresmikan tersebut.

Instalasi pengelolaan sampah menjadi energi listrik Benowo ini dapat menerangi sekitar 5.885 rumah tangga dengan daya 1.300 volt-ampere (VA).

“PLTSa Benowo ini merupakan PLTSa pertama di Indonesia yang menggunakan konsep zero wastedengan proses gasifikasi dan untuk produksi listrik dengan kapasitas 9 MW ini. Dan kami bekerja sama dengan Independent Power Producer (IPP)-PT Sumber Organik sampai 2032 dengan harga beli sebesar 13,35 sen USD/kWh sesuai dengan Perpres 35/2018,” ungkap Direktur Utama PT PLN Zulkifli Zaini.

Dalam Perpres 18/2016 disebutkan, PLN menjadi pembeli listrik PLTSa dengan harga 18 sen USD/kWh. BUMN kelistrikan ini masih keberatan. Pemerintah kemudian merevisi aturan itu melalui Perpres 35/2018. Tarif pembelian listriknya turun menjadi 13,35 sen USD/kWh. Selisih kekurangan pembelian listrik dari PLTSa tersebut disubsidi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Ongkos pengolahan sampah, sejak dikumpulkan, dipilah, hingga diangkut ke TPA, untuk kemudian diproses di PLTSa, memang amat mahal. Karena rata-rata biaya produksi di pembangkit listrik berbahan bakar batubara dan gas berkisar 9-10 sen USD/kWh.

Pelet Biomassa
Meski demikian, Zulkifli Zaini memastikan, pihak PLN siap menjadi off taker PLTSa Benowo sebagai komitmen menambah suplai listrik dari energi baru dan terbarukan (EBT). Adapun dari rata-rata 4.000 ton per hari sampah yang masuk ke TPA Benowo, tidak semuanya terserap ke PLTSa. Kebutuhan PLTSa Benowo cuma 1.000 ton per hari. Artinya, masih ada sisa 3.000 ton sampah potensial yang belum terserap per harinya.

Oleh karena itu, PLN akan memanfaatkan sisa sampah tersebut dengan mengolahnya menjadi biomassa atau pelet dengan teknologi Refuse Derived Fuel (RDF) sebagai bahan baku untuk co-firing Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Co-firing merupakan proses menambahkan biomassa sebagai bahan bakar pengganti parsial atau campuran batu bara di PLTU.

PLN menurutnya sangat terbuka dalam melakukan kerja sama di waktu-waktu yang akan datang. Pasalnya, PLTSa dan co-firing selain memproduksi listrik juga bisa menjadi solusi lingkungan perkotaan.

Dari hasil uji coba di TPA Rawa Kucing, Tangerang, sudah bisa menghasilkan 1,5 ton pelet dan dipakai di PLTU Banten 3 Lontar. Guna mencapai target EBT 16 gigawatt (GW), salah satu langkah yang dijalankan PLN yakni melakukan ujicoba co-firing pada 52 PLTU di Indonesia sampai dengan 2024. (indonesia.go.id)