Kisah perjalanan sosok Sukarno atau yang akrab disapa Bung Karno itu bukan sekadar soal kegigihan perjuangan hidup dan romantisme saja, akan tetapi ada pula kisah semangat nasionalisme yang tinggi di dalam jiwanya.
Semangat berapi-api Sukarno muda dalam memperjuangkan bangsa Indonesia itu, diungkap dalam Sarasehan Kebangsaan Memperingati Hari Lahir Bung Karno yang bertajuk “Warisi Apinya, Jangan Abunya” di gedung Merah Putih, Balai Pemuda Surabaya, Sabtu (11/06).
Dalam sarasehan, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Purnawan Basundoro menjelaskan secara rinci, bagaimana Sukarno melawan ketidakadilan yang terjadi di nusantara selama zaman pendudukan Belanda.
Sikap dan semangat juang tinggi Sukarno itu dilatarbelakangi oleh sosok Tjokroaminoto dan kota kelahirannya Surabaya.
Menurut Purnawan, selama tahun 1916 – 1921 itu adalah masa keemasan Sukarno, karena pada saat itu lah jiwa dan kepribadian Sukarno diasah di Kota Surabaya. Di awal abad ke 20, selama Sukarno tinggal bersama di indekos HOS Tjokroaminoto menganggap Kota Surabaya adalah sebagai dapur dari nasionalisme.
“Artinya, di Surabaya itu lah, pemikiran mengenai nasionalisme Sukarno terbentuk, semangat juang melawan pendudukan Belanda di Surabaya,” kata Purnawan.
Hal tersebut terbukti ketika di awal abad 20-an, Kota Surabaya menjadi salah satu wilayah industri besar di nusantara. Kala itu kawasan industri terbesar di Surabaya berada di Jalan Dapuan dan Jalan Gatotan. Kemudian di tahun 1916, pada saat Sukarno datang kembali ke Kota Pahlawan, kawasan industri di Ngagel mulai dibangun.
Ketika Surabaya sudah terbentuk menjadi sebuah kota industri besar, secara tidak langsung membentuk sebuah komunitas sosial baru yakni golongan buruh. Golongan buruh pada saat itu adalah kelompok sosial yang lemah secara ekonomi, karena pendidikannya yang juga redah.
“Ketika di Surabaya pertama kali ada sensus penduduk, tercatat warga Surabaya saat itu hanya 17 persen yang sekolah. Tentu, sebagian besar saat itu buruh yang bekerja di Surabaya adalah pekerja rendahan dan kasar. Meskipun buruh rendahan, hal itu justru mendapat perhatian Sukarno,” kata Purnawan.
Kenapa bisa, buruh rendahan itu menjadi perhatian Sukarno? Karena para buruh itu menjadi salah satu dasar pembentukan ideologi Marhaenisme, sebagai bentuk kepedulian Sukarno terhadap para buruh. Selain itu, ideologi Marhaenisme itu juga menjadi dasar Sukarno dalam merumuskan Pancasila.
Di tahun 1910, Kota Surabaya muncul gerakan protes kuat dari rakyat yang tinggal di lingkup tanah partikelir pada masa itu. Protes itu muncul lantaran rakyat yang tinggal di tanah partikelir itu tidak terima jika harus tunduk terhadap tuan tanah.
“Karena perbuatan tuan tanah yang semena-mena dan menjadikan tanahnya itu untuk membangun kota dan perumahan, secara otomatis rakyat yang tinggal di tanah partikelir itu pun banyak yang tergusur,” sebut Purnawan.
Seiring dibangunnya tanah partikelir menjadi sebuah pemukiman dan pertokoan, muncul salah satu tokoh pergerakan dari Ondomohen, yaitu Pak Siti alias Sadikin yang menggerakkan warga Surabaya kala itu untuk protes.
Saat itu Sadikin tidak sendiri, ia bersama seorang temannya Prawirodirdjo, membela rakyat yang tinggal di tanah partikelir itu hingga tuntas di pengadilan kolonial (Landraad) kini Pengadilan Negeri Surabaya.
Hingga akhirnya, pada tahun 1916 gugatan dari masyarakat yang menolak penggusuran paksa itu diterima oleh pengadilan, sehingga muncul keputusan hakim, yakni muncul aturan larangan mengusir penduduk yang tinggal di lahan partikelir.
Di dalam buku catatan APE Korver berjudul “Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?”, tertulis setelah surat putusan dibacakan oleh hakim pengadilan Landraad setidaknya ada sekitar 4.000 orang berkumpul di taman kota yang kini menjadi bagunan Monumen Tugu Pahlawan.
Ribuan orang yang diinisiasi oleh Sadikin CS serta didukung oleh Tjokroaminoto sebagai pimpinan Sarekat Islam (SI) waktu itu merayakan pesta kemenangan melawan pendudukan bangsa Belanda.
“Artinya, pada tahun 1916, Sukarno pasti mengetahui adanya gerakan dan protes besar-besaran yang dilakukan oleh rakyat Surabaya secara masif kala itu. Sayangnya, peristiwa ini tidak banyak yang tahu sebagai bentuk perjuangan masyarakat melawan pendudukan Belanda, selama ini tahunya hanya gerakan 10 November 1945,” ungkap Purnawan.
Di periode yang sama, gerakan buruh yang bekerja di industri Surabaya menguat begitu masif, bahkan mulai melakukan mogok massal dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan oleh pendatang asal Eropa/Belanda yang menduduki Kota Surabaya memandang sebelah mata orang pribumi.
Selain tindakan semena-mena warga Belanda, pemicu kedua pergerakan penduduk pribumi adalah HOS Tjokroaminoto. Pada saat Sukarno tiba di Surabaya, Tjokroaminoto tengah menjadi pusat perhatian pengikut SI di Kota Pahlawan bahkan di belahan nusantara lainnya.
Di mata Sukarno, sosok Tjokroaminoto adalah seorang yang dia idolakan dalam hidupnya. Seperti yang dikutip dalam buku Cindy Adam halaman 46.
“Pak Tjokro adalah Idolaku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak, ia menggemblengku. Aku duduk di dekat kakinya dan dia memberikan buku-bukunya kepadaku, dia memberikan miliknya yang berharga kepadaku,” kata-kata Sukarno di dalam karya buku Cindy Adams “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Purnawan menambahkan, di rumah Tjokroaminoto, insting politik Sukarno terbentuk, hal itu juga diungkap di dalam buku karya Cindy Adams.
Di dalam buku yang sama, dituliskan Tjokroaminoto sendiri lah yang mengenalkan kepada Sukarno kepada para tokoh pergerakan yang hilir mudik masuk ke rumahnya saat itu. Dengan demikian, pandangan Sukarno di usia remaja sangat banyak dan kaya ilmu pengetahuan dari berbagai segi ideologi.
Purnawan melanjutkan, kala itu Sukarno juga menulis soal rumah Tjokroaminoto yang menjadi dapur nasionalismenya. “Aku meresapi lebih banyak lagi persoalan politik di rumah Pak Tjokro, dapur dari nasionalisme.” Bahkan, saat itu Sukarno juga sempat menuangkan ide dan gagasan yang ada di kepalanya melalui media cetak Oetoesan Hindia yang dimiliki oleh Tjokroaminoto.
“Bung Karno mengakui, saat di Surabaya ia menulis tidak kurang dari 500 tulisan yang dimuat di surat kabar. Di rumah Tjokroaminoto itu pula Sukarno mengenal Alimin, Muso, Semaun dan SM Kartosuwiryo yang memiliki ideologi berbeda-beda,” imbuhnya.
Di usianya yang ke 20 tahun, Sukarno sudah matang secara politik dan ideologi. Sehingga pada saat itu lah Sukarno menemukan ideloginya sendiri yaitu Marhaenisme yang melambangkan kepribadian nasional.
Di dalam media massa Fikiran Ra’jat tanggal 1 Juli 1932 No.1 tertulis, Marhaen adalah ideologi yang meliputi kelompok miskin Indonesia, baik buruh atau bukan, termasuk petani miskin yang tidak bekerja untuk siapapun melainkan hanya untuk sehari-harinya.
“Secara detail, di dalam buku Adams 2014: 90 tertulis, Marhaenisme merupakan Sosialisme Indonesia, gabungan dari Nasionalisme, Agama, dan Marxisme yang ditambah dengan Gotong Royong,” sebut Purnawan.
Pada tanggal 4 Juli 1927, Sukarno bersama dengan dr Tjipto Mangunkusumo, Mr Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadikusumo dan Mr Sunaryo, mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia pada tahun 1928 berganti menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI).
PNI saat itu dianggap membahayakan Belanda karena menyebarkan gagasan kemerdekaan sehingga pemerintah mengeluarkan surat penangkapan tokoh-tokoh partai pada tanggal 24 Desember 1929.
Sukarno kemudian diadili pada 18 Agustus 1930, dengan pidato pembelaan berjudul Indonesia Menggugat yang isinya banyak menguraikan kekejaman imperialisme dan kapitalisme. Menurut Sukarno kolonialisme dan imperialisme merupakan gaya baru akan muncul dalam bentuk bantuan modal asing dengan bunga jangka panjang yang sangat tinggi.
Hal Ini merupakan transformasi baru dari kapitalisme, yang mana semulanya hanya berdagang, tetapi lambat laun bertujuan untuk menguasai suatu negara. Lembaga-lembaga donor ini menurut Sukarno merupakan cara untuk memperkuat cengkraman barat terhadap negara bekas jajahan seperti dalam buku Jati 2013 : 172.
Hingga di pada tanggal 1 Juni 1945, Sukarno menyampaikan lima prinsip dasar negara, yakni Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial dan Ketuhanan yang berkebudayaan.
“Di saat itu Bung Karno menggali nilai-niai Pancasila. Tujuannya adalah untuk menggalang negara baru merdeka untuk saling membantu negara yang masih terjajah, selain itu ia tidak ingin Indonesia tercerai-berai dan ingin bangsanya mandiri, berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan,” pungkasnya. (ita)