Nagari Penyelamat Si Inyiak
KOMUNITAS PERISTIWA

Nagari Penyelamat Si Inyiak

Harimau sumatra merupakan satwa endemik asli Indonesia. Bagian dari keluarga kucing atau Felidae ini mendiami Pulau Sumatra. Nama latinnya adalah Panthera tigris sumatrae dan kemudian direvisi berdasarkan taksonominya pada 2017, digolongkan sebagai Panthera tigris sondaica.

Harimau sumatra merupakan yang terakhir masih bertahan hidup di tanah air setelah punahnya harimau jawa (Panthera tigris sondaica), harimau bali (Panthera tigris balica). Di lingkup global, harimau kaspia (Panthera tigris virgata) juga telah dinyatakan punah.

Mamalia Sumatra ini punya ukuran tubuh paling kecil di antara subspesies sejenis yang masih bertahan di seluruh dunia. Beratnya sekitar 91–140 kilogram dengan panjang 198–250 sentimeter.

Namun, ukuran yang kecil justru memudahkannya menjelajahi rimba untuk mencari mangsa. Daya jelajahnya juga cukup jauh, sekitar 40–100 kilometer persegi hanya untuk berburu santapannya.

Seperti dikutip dari website World Wild Fund Indonesia, warna kulit harimau sumatra paling gelap di antara sesamanya. Mulai dari kuning kemerah-merahan hingga oranye tua, dan memiliki garis loreng yang lebih rapat.

Instingnya sebagai predator pun sangat diakui dan aktif berburu di malam hari. Penglihatannya 30 kali lebih tajam dari manusia dan mampu mendengar suara hingga jarak 10 kilometer.

Kehebatan harimau sumatra makin lengkap karena dengan taringnya ia mampu mencengkeram mangsa lewat kekuatan gigitan sampai 450 kg gaya. Ini tentu saja membuat semua mangsanya tak dapat berkutik hanya dalam hitungan menit.

Di Pulau Sumatra, keberadaan mereka terpantau dalam 22 lanskap habitat, yakni kecil, sedang, dan besar dengan populasi antara 1-180 ekor.

Sayangnya, dengan semua kelebihan itu harimau sumatra justru menjadi satwa paling rentan punah di Pulau Sumatra. Badan Konservasi Alam Internasional (IUCN) telah memasukkan harimau sumatra sebagai satu dari 25 satwa endemik Indonesia yang terancam punah dengan status kritis (Critically Endangered/CE).

Pemerintah juga telah mencantumkannya dalam daftar hewan dilindungi seperti disebutkan di dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Menurut Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kelautan Wiratno, populasi hewan ini tinggal 604 ekor. Sebanyak 234 ekor ada di habitat asli di hutan belantara Sumatra dan sisanya 370 ekor berada di konservasi luar habitat (ex-situ).

Sebanyak 258 dari 370 ekor tadi berada di lembaga konservasi di luar Indonesia. “Penyelamatan masa depan harimau sumatra sama dengan penyelamatan masa depan hutan Indonesia,” kata Wiratno beberapa waktu lalu.

Masifnya pembukaan lahan untuk perkebunan dan permukiman menjadi penyumbang ancaman kepunahannya meski yang terbesar adalah faktor perburuan besar-besaran terhadap mamalia itu.

Kulitnya yang eksotis dan indah serta bagian-bagian lain tubuhnya yang dipercaya memiliki khasiat tertentu menjadi alasan para pemburu mengejar di belang.

Oleh karena itu pula, sebagai upaya konservasi satwa endemik Sumatra tersebut, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumbar bersama pemerintah daerah menggagas dibentuknya nagari ramah harimau dan merupakan yang pertama di Indonesia.

Dipilihnya Sumbar karena wilayah ini harimau sumatra mendapat tempat tersendiri di dalam masyarakat adat Minangkabau, suku terbesar di ranah Minang. Mereka percaya kalau harimau adalah penjaga kampung dan makhluk terhormat dan tidak boleh diganggu.

Ada sapaan khusus untuk harimau, yaitu inyiak karena sosoknya yang dianggap berwibawa, ditakuti serta terpandang. Mantan Gubernur Sumbar Irwan Prayitno sempat berujar bahwa harimau sumatra bukan semata hewan bertaring saja.

Namun, sudah dianggap sebagai sebuah simbol budaya dan bagian tak terpisahkan dalam sisi kehidupan masyarakat Minangkabau. Bahkan, dalam tradisi beladiri silat, terdapat serangkaian jurus silek harimau.

Selain itu, Sumbar punya dua lanskap habitat harimau, yakni sedang dan besar dengan populasi 20-70 ekor. Ranah Minang juga diketahui memiliki tingkat konflik harimau dan manusia yang tertinggi di Sumatra.

Pada 2021 saja, dalam catatan BKSDA Sumbar ada 44 kali konflik harimau dengan manusia dan sebanyak satu ekor ditemukan mati karena dehidrasi berat.

Nagari-nagari yang terpilih pun dilatari oleh munculnya konflik tersebut. Ketiga nagari itu adalah Sontang Cubadak di Kabupaten Pasaman, Baringin di Kabupaten Agam, dan Ujung Gading di Kabupaten Pasaman Barat. Kepala BKSDA Sumbar, Ardi Andono menceritakan, persiapan nagari ramah harimau sudah dilakukan sejak pertengahan 2021.

Ditangisi Warga

Di nagari ramah harimau itu pihaknya membagikan pengetahuan soal berinteraksi dengan satwa bertaring itu. Seperti bagaimana mengajak para pemuda membentuk Patroli Anak Nagari (Pagari).

Satu tim Pagari yang terdiri dari 20 pemuda nagari diajari bagaimana mengawasi dan memetakan ekosistem harimau di hutan. Mereka diajak melakukan patroli keliling hutan yang menjadi habitat harimau dan memantau kemungkinan terpasangnya jerat yang bakal mematikan si inyiak.

Kemudian belajar mengidentifikasi jejak, cakaran, dan kotoran harimau sumatra di wilayah hutan. Kemudian belajar memasang kamera jebak (trap camera) agar dapat mengetahui jumlah populasi harimau, dan cara mengevakuasi harimau yang terjebak di permukiman warga.

Masyarakat dan Pagari juga dilatih untuk memahami pengambilan sampel darah secara sederhana apabila ada harimau yang terjebak di permukiman dan kemungkinan terserang penyakit. Upaya-upaya tersebut dilakukan untuk mendukung sikap masyarakat yang sangat melindungi inyiak.

Ardi berkisah, dalam sebuah kesempatan ia bersama tim BKSDA Sumbar berupaya mengevakuasi harimau yang masuk ke kampung di Nagari Salareh Air, Agam untuk dikembalikan ke habitatnya. Masyarakat bukannya senang, sebaliknya menyuruh Ardi dan tim pulang karena kehadiran mereka bakal mengganggu si inyiak yang diyakini sebagai penjaga kampung.

Padahal, dalam sejumlah laporan yang diterima pihak BKSDA, harimau telah memangsa beberapa ternak warga. Ini disebabkan habitatnya di kawasan punggung Pegunungan Bukit Barisan mulai dirambah untuk pembukaan lahan perkebunan. Situasi itu membuat harimau mulai kehilangan mangsa dan terdesak sehingga turun ke permukiman warga.

“Para pemuka adat tak berkenan kalau harimau itu kami evakuasi. Ini sesuatu yang menakjubkan,” ujarnya seperti dikutip dari Antara. Ketika berhasil dievakuasi, kepergian inyiak bersama tim BKSDA justru ditangisi oleh banyak warga. Karena mereka khawatir kampungnya menjadi tidak aman dan dapat timbul musibah.

Program ini akan dikembangkan ke sejumlah kenagarian lainnya yang sempat berkonflik dengan harimau sumatra. Ardi menyatakan, dengan adanya edukasi tersebut pihaknya berharap masyarakat dapat secara mandiri melakukan penanganan awal dari kemungkinan munculnya konflik harimau dengan manusia.

Sehingga masyarakat di kenagarian yang sudah ikut program tersebut dapat hidup berdampingan dengan harimau sumatra. (indonesia.go.id)