Tanah Ambles di Sepanjang Pantura
KOMUNITAS PERISTIWA

Tanah Ambles di Sepanjang Pantura

Semarang kaline banjir. Pasemon alias pameo (sindiran) ini sudah puluhan tahun terdengar, yang dicuplik dari penggalan syair lagu hits keroncong Jawa Jangkrik Genggong (1969), yang dibawakan oleh penyanyi legendaris Waldjinah. Hari-hari ini pasemon itu berkumandang lagi.

Genangan banjir di Semarang adalah soal biasa, masih sering terjadi, sekalipun pelbagai upaya pengendalian banjir telah dilakukan. Bahkan, itu terjadi sejak masa kolonial Belanda, di pertengahan abad 19 lalu.

Beberapa tahun belakangan ini, Pemerintah Kota Semarang, Pemprov Jawa Tengah, dan Kementerian Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), gencar merevitalisasi segala sarana pengendalian banjir yang ada. Kanal-kanal kota dinormalisasi, kolam-kolam retensi dibangun, termasuk kolam-kolam polder lengkap dengan pompa airnya. Dua saluran drainase besar, Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur diperbesar kapasitasnya.

Toh, air belum sepenuhnya bisa dikendalikan. Jika hujan besar turun, di kawasan hulu hingga hilir, air masih meluap dan menggenang, utamanya di tempat-tempat yang rendah. Sebagian wilayah Semarang berada di titik yang rendah.

Banyak area pesisir yang elevasinya hanya +0,5 meter dari permukaan air laut (normal), bahkan ada yang -2 meter. Areal rendah itu kini terancam genangan dari dua arah, yakni dari laut dan dari langit (air hujan).

Kota Semarang dengan luas 375 km2 itu punya topografi yang unik. Sekitar 60 persen wilayahnya berada di kawasan berbukit-bukit. Bahkan, Kecamatan Gunungpati di ujung selatan berada pada elevasi 350 m dari permukaan laut.

Kaki-kaki perbukitan itu berada pada jarak sekitar 4–5 km dari garis pantai, kecuali di Semarang bagian timur yang kawasan rendahnya menjorok ke pedalaman sampai 10–11 km dari garis pesisir. Dataran rendah itu luasnya 150 km2 (40 persen). Topografi yang unik itu terbentuk melalui proses sejarah yang panjang.

Sebagaimana Sumatra, Kalimantan, dan banyak pulau lainnya di Indonesia. Pulau Jawa terjelma pada akhir zaman es, sekitar 10 ribu tahun sebelum Masehi. Selama zaman es berlangsung, air laut naik sekitar 120 meter. Ketika itu, secara umum garis pesisir Pantai Utara Jawa jauh berada di sisi selatan dari garis pantai yang sekarang.

Proses sedimentasi membuat garis pantai bergerak ke arah laut. Dari proses sedimentasi ribuan tahun itulah kemudian muncul lapisan tanah aluvial yang kini mendominasi hampir di sepanjang pesisir utara Jawa.

Dalam konferensi pers (online), Selasa (31/05), terkait banjir rob parah di sepanjang pesisir utara Jawa, utamanya di pantai Pekalongan, Semarang, dan Demak, Plt Kepala Balai Besar Survei dan Pemetaan Geologi Kelautan Kementerian ESDM Edian Usman menekankan fakta bahwa saat ini dataran aluvial tanah pesisir itu mengalami fenomena yang sama, yaitu subsidensi. Pemukaan tanah pesisir itu ambles, menurun dari waktu ke waktu, fenomena yang mengundang terjadinya genangan banjir rob.

“Sepanjang pengamatan kami, subsidensi di Pekalongan, Semarang, dan Demak itu terjadi dengan kecepatan yang cukup tinggi,” kata Edian Usman, yang saat ini juga merangkap sebagai Sekretaris Badan Geologi pada Kementerian ESDM. Maka, menurut Ediar Usman, banjir rob di pantai utara (pantura) kan selalu menjadi ancaman laten, sampai dilakukan aksi mitigasi yang memadai.

Tanah aluvial, menurut Ediar, bersifat lunak. Ia terbentuk dari endapan lumpur yang terbawa dari arah hulu sungai-sungai besar mapun kecil, yang banyak terdapat di pantura. Lumpur endapan itu muncul akibat erosi tanah di segenap penjuru daerah aliran sungai (DAS).

Lumpur mengendap di pantai dan bercampur lumpur yang terbawa gelombang laut ke arah pantai. Di dalam lingkungan alam hujan tropis seperti Indonesia, material gambut (bahan organik) dari pembusukan mangrove dan vegetasi pantai di masa lalu, ikut membentuk dataran aluvial tersebut.

Apakah pembentukan tanah aluvial itu terhenti? Tentu tidak. “Di beberapa tempat terus muncul daratan baru,” kata Ediar Usman.

Tapi, di daerah budi daya (lahan permukiman, pertanian, urban, atau industri), pembentukannya terhenti, karena tak ada lagi tanah endapan. Yang muncul adalah fenomena pendangkalan pantai. Kalau dibiarkan, dalam jangka panjang pantai dangkal itu dapat menjelma menjadi dataran aluvial baru.

Fenomena air rob ini muncul ketika elevasi dataran aluvial itu sudah hampir sama dengan tinggi paras air laut, dan lebih buruk lagi bila sudah di bawahnya. Amblesnya (subsidensi) muka tanah di pesisir itu, kata Edian Usman, umumnya karena tiga alasan. Pertama, karena proses alamiah, yang mana tanah aluvial yang lunak itu mengalami pemadatan alias kompaksi atau konsolidasi. Secara alamiah, proses itu terjadi untuk mencapai kompabilitas yang mapan.

Yang kedua adalah pengambilan air tanah. Dalam struktur tanah, air bisa menjadi pengisi rongga-rongga di dalam tanah, bahkan sampai ke rongga-rongga kapiler. Pengambilan air tanah membuat struktur tanah kehilangan bantalannya. Walhasil, proses kompaksasi tanah berjalan lebih cepat.

“Yang ketiga adalah beban di atas tanah. Ini faktor penting utamanya di daerah urban,” ujar Ediar Usman. Rumah tembok, ruko, hotel, mal, perkantoran, jalan raya, jalan tol, struktur industri, serta banyak lainnya, ialah beban berat yang membuat struktur tanah lebih mampat dan ambles. Banjir rob itu dampaknya meluas, karena dataran aluvial Pantura itu umumnya flat, rata, dengan tingkat kemiringan kurang dari 5 persen.

“Pekalongan, Semarang, dan Demak termasuk yang mengalami subsidensi cukup tinggi,” kata Ratna Susilowati, Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan, Kementerian ESDM, yang menyampaikan paparannya bersama Ediar Usman. Di Semarang, menurut Ratna, ada tempat yang mengalami subsidensi dampai 9 cm per tahun. “Tapi, rata-rata penurunannya 5,6 cm setiap tahun,” ujarnya.

Di Pekalongan laju subsidensinya lebih rendah. Namun, karena prosesnya sudah lama terjadi, ancaman banjir rob di Pekalongan juga tidak bisa disebut ringan. Fenomena subsidensi itu terus dipantau oleh Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan.

Tidak kurang dari 30 titik saat ini dalam pemantauan, hanya untuk sekitar Semarang. Dari pantauan itu, menurut Ratna, terlihat adanya korelasi antara eksploitasi air tanah dan subsidensi, meski tak selalu sama polanya dari satu tempat ke tempat lain.

Di Pekalongan, katanya, ekspoitasi air tanah di pusat kota lebih besar dibanding di pesisiran. Beban struktur bangunan juga lebih besar di pusat kota. Namun, laju subsidensi di pesisir lebih cepat. Hal tersebut menunjukkan bahwa subsidensi lebih banyak dipicu oleh faktor alam.

Di Semarang sebaliknya. Eksploitasi air tanah di pesisir cenderung lebih besar. Bahkan, tutur Ratna pula, muka air tanah akuifer yang terpantau dari sumur dalam telah turun 40 meter pada 10 tahun terakhir. Pengambilan air tanah mau tak mau harus disetop. “Gunakan air permukaan,” katanya.

Subsidensi tanah dengan laju yang tinggi adalah fenomena umum di kota-kota besar di Indonesia. Di Jakarta, pada titik yang ekstrem subsidensi bisa mencapai 8 cm per tahun. Di Cirebon kisarannya 0,3–4cm, Pekalongan 0,9–11 m, dan Surabaya 0,3–4,3 cm per tahun.

Kota Bandung pun subsidensi terjadi, karena kota kembang itu berada di atas tanah aluvial dari dasar Danau Bandung Purba yang mengering sejak 16 ribu tahun silam.

Daratan aluvial itu cepat terbentuk. Sekitar 500 tahun lalu, Kota Demak masih berada di tepi pantai Jawa dengan tumbuhan bakau di sekelilingnya, dan terpisah dari sebuah pulau kecil dan bulat yang berpusat pada Gunung Muria.

Namun, endapan lumpur membuat pulau itu menyatu ke Jawa. Kini pulau itu menjadi bagian dari Kabupaten Jepara dan Kudus. Pada kurun yang sama, Kota Semarang pun menjorok maju sekitar 3 km ke arah laut.

Pesisir di Pekalongan, Semarang, dan Demak itu terbentuk dari tanah aluvial muda. Bahkan, survei geologi pada 70 tahun lalu sudah menandainya dan menyebutnya unconsolidated sediment, tanah sedimen yang belum terkonsolidasi. Tebalnya antara 30–50 meter. Proses sedementasi itu terjadi setidaknya sejak akhir jam es 12 ribu tahun silam.

Pada saat itu, pesisir di sana masih berupa pantai-pantai terjal di kaki pegunungan dengan laut yang cukup dalam. Sedimentasi membuat terbentuk tanah pantai yang rapuh dengan laut yang dangkal di depannya.

Subsidensi masih akan terus berlanjut. Mau tidak mau, tanah pesisir itu harus dikelola dengan cara yang berbeda. Dia akan terancam genangan laten dari arah laut maupun darat. Faktor perubahan iklim akan membuat dampaknya makin berat. (indonesia.go.id)