Upaya Meraih Pasar Teluk
EKONOMI BISNIS PERISTIWA

Upaya Meraih Pasar Teluk

Indonesia sedang bertransformasi dari negara penghasil barang mentah menjadi negara penghasil barang industri. Kesepakatan perdagangan yang komprehensif menjadi penting untuk dilakukan.

Pola perdagangan dunia kini mengalami perubahan, menyusul terjadinya wabah Covid-19. Hampir semua negara di dunia sangat terpengaruh dan menanggung beban besar akibat pandemi. Begitupun Indonesia.

Seiring kian terkendalinya pandemi Covid-19 dan masifnya vaksinasi massal di tanah air, pemerintah pun bergerak mencari peluang pasar bagi produk-produk unggulan.

Selain tetap mengandalkan pasar utama, yakni pasar tradisionalnya yang sudah rutin menyumbang neraca perdagangan, pemerintah berusaha keras melebarkan wilayahnya pasar produk Indonesia, salah satunya mulai melirik pasar nontradisional seperti pasar Uni Emirat Arab (UEA).

Sebenarnya tidak hanya dengan UEA, sejumlah perjanjian dagang berbasis government to government (G-to-G) pun terus diupayakan untuk merangkul pasar alternatif, di antaranya Indonesia-Pakistan Trade in Goods Agreement (TIGA), dan Preferential Trade Agreement (PTA) dengan Bangladesh, Tunisia, dan Maroko.

Selain itu, perjanjian dagang prioritas 2021 juga menjadi perhatian, yaitu, Indonesia Mozambik Preferential Trade Agreement (PTA), Kerja Sama Dagang Indonesia-United Kingdom, Indonesia (EU-CEPA), dan Kerja Sama Bilateral Indonesia-Jepang.

Pada Kamis (02/09/2021), Indonesia telah memulai perundingan dagang dengan Uni Emirat Arab (UEA) di bawah pakta Indonesia United Arab Emirates Comprehensive Economic Partnership Agreement atau IUAE CEPA.

Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi menyampaikan, penandatanganan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Emirat Arab (Indonesia–United Arab Emirates Comprehensive Economic Partnership Agreement/IUAE-CEPA) akan mengakselerasi ekonomi kedua negara.

Kolaborasi kedua negara juga akan meningkatkan peluang dalam menghadapi situasi krisis di masa depan. Hal ini diungkap Mendag Lutfi dalam Forum Dialog IUAE-CEPA di Bogor, Kamis (02/09). Hadir dalam acara itu, Menteri Negara Perdagangan Luar Negeri UEA Thani bin Ahmed Al Zeyoudi, Ketua Kadin Indonesia Arsjad Rasjid, serta Ketua Dewan Federasi Kamar Dagang dan Industri UEA Abdullah Mohamed Al Mazroui.

“IUAE-CEPA merupakan kolaborasi dalam mengakselerasi pemulihan pascapandemi Covid-19. Selain itu menjadi kolaborasi dalam peningkatan penerapan energi terbarukan dan ekonomi digital,” kata Mendag Lutfi.

Lutfi menjelaskan, Indonesia saat ini sedang bertransformasi dari negara penghasil barang mentah menjadi negara penghasil barang industri dan industri berteknologi tinggi.

Untuk itu, kesepakatan perdagangan yang komprehensif menjadi penting untuk dilakukan. “Bila IUAE-CEPA dapat dituntaskan segera maka ini menjadi perjanjian pertama yang dilakukan Indonesia dengan negara-negara teluk dan yang kedua bagi UEA dengan mitra dagang Asia selain Singapura,” katanya.

Kinerja Dagang
Bagaimana sebenarnya kinerja perdagangan Indonesia-UEA? Perdagangan kedua negara sebenarnya cukup menjanjikan. Sebagai gambaran, data Kementerian Perdagangan pada 2016 menunjukkan, total perdagangan kedua negara tercatat mencapai USD2,92 miliar, USD3,70 miliar (2017), USD3,32 miliar (2018), USD3,65 miliar (2019), USD2,92 miliar (2020), dan dari Januari–Juni 2021 mencapai USD2,59 miliar.

Dari perdagangan kedua negara itu, ekspor Indonesia ke negara teluk itu tercatat dalam lima tahun terakhir stagnan, masing-masing sebesar USD1,33 miliar pada 2016, USD1,37 miliar (2017), USD1,22 miliar (2018), USD1,50 miliar (2019), dan USD1,33 miliar pada 2020.

Sementara itu, dari Januari–Juni, ekspor Indonesia ke negara itu tercatat mencapai USD0,77 miliar. Harapannya, dalam 10 tahun ke depan, ekspor Indonesia ke UAE akan meningkat 10 kali lipat dari posisi 2020.

Indonesia memiliki 10 komoditas unggulan yang layak dan kompetitif di pasar global. Ke-10 komoditas unggulan itu masing-masing-masing produk udang, minyak kelapa sawit, elektronika, kopi, kakao, alas kaki, karet dan produk karet, furniture, TPT, serta komponen kendaraan.

Selain mengandalkan jualan komoditas utama, kedua negara berpotensi mengembangkan pasar halal global. Bayangkan, menurut laporan State of Global Islamic Economic 2020—2021, pertumbuhan pasar halal global diperkirakan mencapai USD2,4 triliun pada 2024 dengan tingkat pertumbuhan tahunan kumulatif (cummulative annual growth rate/CAGR) 5 tahun sebesar 3,1%.

Terlepas dari semua itu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menekankan, Indonesia tetap mengandalkan perdagangan elektronik atau e-commerce menjadi garda terdepan. Meskipun belum ada konsensus internasional, dia mengatakan, hal ini perlu didorong demi terciptanya lingkungan bisnis yang kondusif ihwal industri tersebut.

Selain itu, dia juga berharap, IUAE CEPA bisa menjadi pintu ekspor bagi barang industri dan berteknologi tinggi merambah ke negara-negara kawasan Teluk Persia lainnya. Berkaitan dengan perluasan ke negara-negara nontradisional, Indonesia juga tengah dalam proses peralihan dari negara penjual barang mentah dan setengah jadi ke industri berteknologi tinggi.

Namun, peralihan itu mensyaratkan adanya kolaborasi. Indonesia ingin bekerja sama meningkatkan perdagangan produk aluminium dan aluminia dengan Uni Emirat Arab. Ini dilakukan demi menembus pasar nontradisional lainnya di Afrika. “Kami ingin pasar-pasar Afrika melalui Uni Emirat Arab menikmati industri otomotif kita. Harapannya, mobil kita akan merajai pasar Uni Emirat Arab,” tuturnya.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid menilai positif inisiatif IUAE CEPA. “Perundingan ini potensial karena membuka perdagangan kita ke pasar kawasan lain, seperti Afrika yang sedang berkembang,” katanya.

Arsjad mengatakan, perundingan bersama UEA relatif berjalan cepat ketimbang sejumlah pakta dagang yang sempat dikerjakan oleh pemerintah. Alasannya, hubungan kedua negara relatif baik belakangan ini.

Kalangan pelaku usaha lainnya juga berharap IUAE CEPA membuka jalan perluasan ekspor produk minyak sawit ke kawasan Timur Tengah. Selama ini, volume ekspor produk minyak sawit ke UEA masih relatif kecil yaitu 200.000 ton per tahun. Volume ekspor ini berpeluang meningkat karena UEA menjadi pintu masuk ke Timur Tengah dan Afrika.

Data BPS menunjukkan, ekspor produk minyak nabati (HS 17) ke UEA mencapai 226.260 ton pada 2020. “IUAE CEPA diharapkan bisa menarik lebih banyak investasi.”

Senada dengan Mendag, Menteri Thani Al Zeyoudi menyampaikan ihwal tantangan global yang tidak bisa dihadapi sendiri. Setiap negara, menurut dia, harus bekerja bersama.

Indonesia merupakan negara potensial sebagai mitra dalam kerja sama perdagangan dan investasi. “Keberlanjutan merupakan elemen penting dalam peningkatkan ekonomi dan Indonesia memiliki berbagai hal yang dapat mendukungnya. Untuk itu, melalui kolaborsi ini diharapkan hubungan kedua negara dapat ditingkatkan ke tahap berikutnya,” ungkap Menteri Thani Al Zeyoudi.

Upaya Kementerian Perdagangan dengan terus berupaya dan kerja keras meluaskan pasar produk Indonesia tentu patut diapresiasi. Dengan adanya kerja sama perdagangan bilateral itu, harapannya ekonomi bangsa terakselerasi dan tumbuh positif lagi ke depannya. (indonesia.go.id)